Rabu, Mei 14, 2008

MAWAR (BUKAN NAMA SEBENARNYA)

Pena : Haris El Mahdi

"………..
Wong wadon ilang kawirangane
Wong lanang ilang kaprawirane
Akeh wong lanang ora duwe bojo
Akeh wong wadon ora setyo marang bojone
Akeh ibu padha ngedol anake
Akeh wong ijol bebojo
Akeh randha nglairake anak
Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne
Wong wadon lacur ing ngendi-endi
……………”
(Serat Jayabaya)

Sekedar Ilustrasi
Stasiun televisi swasta ibukota, dalam sebuah acara kriminal memberitakan bahwa telah terjadi tindakan asusila yang dilakukan oleh seorang Bapak berusia 40 tahun terhadap anak gadisnya sendiri yang berusia 16 tahun. Si anak yang bernama Mawar (bukan nama sebenarnya) mengaku telah dicabuli bapaknya selama 2 tahun. Selama itu, Mawar tidak mau lapor karena takut.


Sejenak kita terkejut menyaksikan berita tersebut. Tetapi, keterkejutan kita hanya bersifat sementara. Hal ini disebabkan berita-berita kriminal asusila yang sejenis dengan ilustrasi di atas tidak hanya terjadi sekali dua kali tetapi berulang-ulang, bahkan hampir setiap hari. Kitapun menjadi permisif, acuh tak acuh, menganggap kejadian tersebut adalah hal yang wajar dan normal-normal saja.

Dalam hidup bermasyarakat, suatu tindakan dapat dianggap wajar jika dilakukan secara berulang-ulang dan terus-menerus. Dus, dewasa ini tindakan-tindakan asusila seperti pencabulan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual adalah hal yang telah terjadi secara berulang-ulang dalam masyarakat kita.

Suatu saat kita mendengar seorang kakek mencabuli cucunya, seorang kakak memperkosa adik kandungnya, seorang anak memperkosa ibu kandungya, dan seterusnya. Dunia jurnalistikpun memunculkan istilah baru untuk para korban perkosaan – yang umumnya adalah perempuan – dengan sebutan Mawar (bukan nama sebenarnya). Pertanyaannya: apakah kita akan membiarkan tindakan-tindakan seperti itu menjadi sebuah kewajaran?

Gonjang-Ganjinge Donya
Ilustrasi di atas merupakan gambaran dari dunia yang sedang berlipat, atau orang Jawa menyebutnya dengan istilah gonjang-ganjinge donya. Istilah ini merujuk pada situasi masyarakat yang mengalami huru-hara sosial-budaya. Kebaikan dan kebathilan menjadi kabur, halal dan haram tak ada bedanya.

Bagaimana tak disebut gonjang-ganjing? Jika ada seorang Bapak yang tega mencabuli anaknya sendiri, seorang Kakek berbuat tak senonoh terhadap cucunya sendiri, dan yang sungguh mengherankan, seorang anak tega memperkosa ibunya sendiri.

Inti permasalahan penyebab terjadinya huru-hara sosial-budaya ini adalah hancurnya pilar-pilar moral di masyarakat. Ukum agama dilanggar, Prikamanusiaan diiles-iles, kasusilaan ditinggal (Hukum agama dilanggar, prikemanusiaan ditindas, kesusilaan diacuhkan), demikian ungkap Jayabaya yang menggambarkan kondisi masyarakat pada fase Kaliyuga. Fase dimana sebagian besar masyarakat tidak lagi berpijak pada hukum agama dan norma kesusilaan.

Masyarakatpun kacau-balau, hubungan-hubungan sosial antar individu menjadi semakin renggang. Keharmonisan hidup berumah-tangga sulit terwujud. Orang miskin semakin miskin, orang kaya semakin kaya. Pengangguran dimana-mana, kriminalitas menjadi-jadi. Banyak ulama/kyai dan pejabat hanya mahir berpidato, tak bisa menjadi panutan.

Inilah realitas jaman Kaliyuga yang saat ini sedang kita alami. Saat ini – diakui atau tidak – hati kita sedang gelisah sebagaimana gelisahnya jaman dan alam. Hati manusia gelisah, masyarakat bergejolak dan alampun penuh dengan bencana. Dunia dipenuhi dengan “orang edan”, sing ora edan ora keduman. Namun, orang yang selamat adalah individu yang selalu eling lan waspada.

Merenungi Sangkan-Paran Diri.
Keadaan diri yang selalu eling lan waspada adalah senjata utama yang harus dipergunakan agar kita tidak tergerus oleh arus jaman Kaliyuga. Tanpa kedua senjata itu, mustahil kita berhasil tidak menjadi orang edan. Karena sejatinya orang edan adalah orang yang telah lupa (wong sing wis lali). Dalam hal ini lupa dengan kesejatian diri. Ibarat kacang lupa dengan kulitnya.

Nah, agar kita tidak lupa dengan kesejatian diri, kita harus senantiasa mengingat-ingatnya, senantiasa eling tentang siapa diri kita dan hendak kemana kita. Orang yang eling adalah orang yang paham-mengerti mengapa dia hidup dan untuk apa dia hidup. Jika kita tak tahu pasti siapa diri kita dan untuk tujuan apa kita hidup, maka itulah sejatinya yang disebut “wong edan,” orang gila.

Asal-muasal dan tujuan hidup manusia dalam khazanah Budaya Jawa dikenal dengan istilah “sangkan-paran”. Asal-muasal manusia hidup karena dihidupkan oleh Gusti Kang Murbeng Dumadi, Tuhan yang menggenggam kehidupan. Kita sadar bahwa tanpa kehendak Tuhan, tak mungkin kita bisa hidup. Sampai saat ini dan kapanpun, kita tak kuasa untuk mencipta diri kita sendiri. “Tangan-tangan” Tuhan-lah yang membuat hidung, telinga, mata, gigi, dan seluruh anggota badan kita. Tuhan bekerja sendiri dalam mendesain dan mencipta tubuh manusia, tak ada satupun bagian dari tubuh manusia yang merupakan hasil karya kita.

Kita hanya menerima-jadi tubuh dan memakainya sebentar untuk beraktivitas dalam kehidupan. Saat tubuh rusak dimakan usia, kita pun tak kuasa untuk memperbaikinya. Dan, kita pun harus meninggalkan tubuh yang telah rusak itu. Kita kembali menghadap Tuhan. Bahkan, tak jarang sebelum tubuh rusak pun, sebagian dari kita telah menghadap Tuhan.

Hakekatnya, manusia dihidupkan adalah untuk menjadi titik-pusat kesetimbangan alam semesta. Untuk alasan itulah Tuhan mencipta manusia. Tuhan mencipta manusia dengan “kedua tangan”-Nya, sementara malaikat hanya dengan “tangan-kanan”-Nya dan Iblis hanya dengan “tangan-kiri”-Nya. Secara “penuh dan utuh”, Tuhan mencitrakan diri-Nya dalam diri manusia. Kesempurnaan Tuhan, Ia manifestasikan dalam wujud manusia. Manusialah makhluk sempurna yang menjadi penentu hancur-tidaknya kehidupan semesta.

Dari Tuhan kembali ke Tuhan, itulah sangkan-paran manusia, asal-usul dan tujuan manusia hidup. Kita harus senantiasa ingat dan terus merenunginya. Karena hanya orang yang mengenal dirinya secara utuh, yang dapat senantiasa waspada, tak mudah dipengaruhi carut-marutnya kehidupan masyarakat.

Penutup
Mawar (bukan nama sebenarnya) adalah lakon dari cerita kehidupan manusia yang menandakan bahwa jaman sedang mengalami kemerosotan moral. Agama hanya ada di masjid, tidak dapat menyentuh kehidupan riil masyarakat. Jadinya, manusia ibarat kuda liar yang tak terkendali. Banyak orang edan berkeliaran.

Namun demikian, betapapun dunia mengalami gonjang-ganjing, hal itu tidak harus membuat kita terbawa arus. Lebih baik kita tidak menjadi wong edan dan ora keduman daripada harus menanggalkan harkat-martabat kemanusiaan kita. Dan, eling lan waspada harus senantiasa melekat dalam benak dan pikiran kita, sepanjang hidup. Hanya dengan eling lan waspada kita bisa terselamatkan dari jaman Kaliyuga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar