Selasa, November 24, 2009

CULTIC RELIGION DAN BUNUH DIRI

Haris El Mahdi

PROLOG
Akhir-akhir ini pemberitaan media-massa tentang kasus-kasus bunuh diri begitu masif diperbincangkan. Mulai bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, bunuh diri para remaja, bunuh diri orang dewasa, bunuh diri masal dan sampai kasus-kasus bom bunuh diri yang sering diidentikkan dengan kaum teroris.

Tulisan ini lebih melihat bunuh diri dalam kelompok sosial yang mempunyai integrasi sosial tinggi dan solidaritas sosial berbentuk mekanis. Kelompok sosial yang dipilih adalah CULTIC RELIGION yang akhir-akhir ini banyak menjamur d Indonesia.

DHURKHEIM TENTANG BUNUH DIRI
Penelitian paling klasik mengenai integrasi sosial – yang mana didalamnya unsur interaksi sosial adalah sesuatu yang dominan – tertuang dalam sebuah seri monografi berjudul Suicide tulisan Emile Durkheim, seorang sosiolog terkemuka berkebangsaan Perancis. Menurut Durkheim, dalam penelitiannya dia menyimpulkan bahwa angka bunuh diri egoistic akan berubah secara berlawanan dengan gejala integrasi sosial. Tegasnya, angka bunuh diri akan berkurang (Lauer, 1989 : 35) :

  1. di kalangan keluarga yang mempunyai anak (integrasi kehidupan rumah tangga akan meningkat dengan adanya anak di rumah),
  2. selama adanya krisis nasional (ancaman dari luar meningkatkan integrasi politik), dan
  3. di kalangan orang Katholik dibanding orang Protestan (kelompok penganut katholik lebih terintegrasi dibanding Protestan yang lebih individualistik)

Lebih jauh, Durkheim membuat sebuah pola hubungan antara integrasi sosial dan angka bunuh diri. Durkheim berpandangan bahwa angka bunuh diri egoistik dan anomik tinggi apabila tingkat integrasi sosial itu rendah, dan angka bunuh diri altruistik itu tinggi dalam kondisi-kondisi tertentu apabila tingkat integrasi sosial tinggi (Jhonson, 1986 :194).

Dalam konteks penelitian Durkheim di atas, integrasi sosial yang tinggi dapat terjadi apabila interaksi sosial yang dikembangkan dalam sebuah masyarakat atau kelompok sosial tertentu bersifat terbuka (open interaction) dan mendalam (in-depth interaction). Dalam hal ini, orang Katholik mempunyai tingkat keterbukaan dan kedalamaan interaksi yang lebih tinggi dibanding orang Protestan.

Dalam tataran yang lebih jauh, dari hasil penelitian tersebut, Durkheim mencoba mendesain sebuah karakteristik masyarakat, kelompok sosial ataupun organisasi sosial yang merujuk pada tingkat integrasi sosial. Tipe masyarakat yang mempunyai integrasi sosial tinggi ia kategorikan sebagai masyarakat yang mempunyai solidaritas mekanik sedangkan tipe masyarakat yang mempunyai integrasi sosial rendah ia kategorikan dengan masyarakat yang mempunyai solidaritas organik.

Dari paparan ringkas tentang penelitian Durkheim di atas, Merton (Lauer,1989 :36) membuat beberapa kesimpulan penting, yaitu :

  1. Kohesi sosial memberikan dukungan psikis kepada anggota kelompok yang menderita ketegangan gawat dan kegelisahan
  2. Angka bunuh diri adalah fungsi dari kegelisahan dan ketegangan yang tak henti-hentinya yang diderita seseorang
  3. Orang Katholik mempunyai kohesi sosial lebih besar dibandingkan orang protestan
    Karena itu, dapat diperkirakan bahwa angka bunuh diri di kalangan orang katholik lebih rendah daripada di kalangan orang protestan

BUNUH DIRI ALTRUISTIK VS EGOISTIK
Sisi menarik dari penelitian Durkheim di atas adalah adanya dua hipotesis penting, yaitu:

  1. Terdapat hubungan antara bunuh diri egoistik dengan solidaritas organis. Artinya, semakin tinggi tingkat solidaritas organis sebuah komunitas sosial maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan terjadinya bunuh diri egoistik semakin tinggi.
  2. Terdapat hubungan antara bunuh diri altruistik dengan solidaritas mekanik. Artinya, semakin tinggi tingkat solidaritas mekanik sebuah komunitas sosial maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan terjadinya bunuh diri altruistik semakin tinggi.

Dua hipotesis di atas – dalam tataran empiris – dapat kita gunakan sebagai pisau analisis memahami fenomena bunuh diri yang marak terjadi pada beberapa tahun belakangan ini. Kasus-kasus bom bunuh diri yang terjadi di Bali, Iraq, Palestina, Riyadh dan beberapa tempat lain merupakan fenomena yang mencolok di akhir abad 21 ini. Di samping itu, kasus-kasus bunuh diri egoistik anak-anak di bawah umur, remaja dan orang dewasa juga merupakan gejala jaman yang semakin menjamur.

CULTIC RELIGION, FUNDAMENTALISME DAN BUNUH DIRI ALTRUISTIK
Cultic religion atau agama kultus dimaknai oleh Komarudin Hidayat (1995 : 92) sebagai sebuah bentuk gerakan keagamaan dengan sistem pengorganisasian yang ketat dan pemujaan terhadap guru yang berlebihan (kultus/taklid) serta dengan disiplin yang rumit, eksklusif atau tertutup, absolutistik, dan dengan sendirinya bersifat isolatif serta kurang toleran kepada kelompok lain. Cultic Religion ini biasanya bertumpu pada seorang tokoh/tokoh-tokoh spiritual yang kharismatik. Dalam tataran empiris, posisi cultic religion ini menghasilkan dua kemungkinan, yaitu : 1) sekte-sekte keagamaan dengan dogma yang unik, aneh dan rumit, dan 2) fundamentalisme-radikal yang eksklusif dan cenderung pada pendekatan kekerasan. Secara sosiologis, cultic religion ini mempunyai tingkat integrasi sosial yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk keberagamaan lainnya. Hubungan-hubungan sosial yang terjalin antar jama’ah sangat intens, intim dan eksklusif. Hal ini berimplikasi pada kondisi kelompok dengan "sense of belonging" yang sangat kuat.

Tokoh spiritual kharismatik sebagai pemimpin organisasi mempunyai fungsi yang strategis sebagai pemersatu organisasi. Tokoh-tokoh spiritual ini biasanya dicitrakan sebagai individu suci yang mempunyai banyak kelebihan mistik. Pencitraan ini menjadikan sang pemimpin spiritual mempunyai "hak istimewa" yang sangat tinggi. Prilaku-prilaku menyimpang pemimpin suci ini selalu ditanggapi secara permisif oleh para anggotanya. Bahkan, setiap tutur kata pemimpin spiritual dianggap sebagai undang-undang yang harus ditaati. Sanksi berat menanti jika ada para anggota jama’ah yang tidak menaati "titah" pemimpin suci ini. Dalam konteks ini, anggota cultic religion tidak mempunyai tujuan hidup kecuali yang telah ditentu-tetapkan oleh tokoh spiritual anutannya. Sehingga wajar, jika tindakan-tindakan sosial cenderung bersifat non-rasional.

Tak jarang, cultic religion ini – seperti yang telah penulis singgung di atas – menghasilkan fundamentalisme radikal yang ekslusif dan cenderung pada kekerasan. Isu-isu terorisme yang berkedok agama seringkali dioperasikan oleh anggota/jama’ah cultic religion ini. Bom bunuh diri di banyak tempat, serangan gas sarin di Jepang, dan bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekte-sekte keagamaan tertentu merupakan bentuk konkret kekerasan yang dihasilkan oleh keberagamaan berbentuk Cultic Religion. Lebih dari itu, Cultic Religion mempunyai kemampuan untuk mengintrodusir kekerasan menjadi sebuah dogma keberagamaan.

Analisis lebih lanjut – dengan menggunakan kerangka Durkheimian – menunjukkan bahwa anggota (baca : jama’ah) cultic religion mempunyai potensi melakukan bunuh diri altruistik. Hal ini disebabkan adanya fakta bahwa setiap cultic religion mempunyai kemampuan melakukan doktrinasi klaim-klaim kebenaran kepada anggotanya. Banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa bunuh diri altruistik terjadi pada cultic religion ini.

BUNUH DIRI MASSAL : KASUS BUNUH DIRI ALTRUISTIK ATAU EGOISTIK ?
Di era post-industrial dewasa ini, eksistensi agama (baca : spiritualisme) seolah mendapatkan kembali momentum kebangkitannya. Kemajuan sains dan tekhnologi ternyata semakin membuat hati manusia gelisah. Oleh karena itu, adalah wajar jika manusia modern – untuk mengobati kegelisahan hatinya – berbondong-bondong kembali ke pangkuan agama, menghayati spiritualisme dan metafisika. Studi-studi keagamaan pun muncul secara lebih massif dan sistematis di beberapa universitas terkemuka dunia, misalnya : University of Chicago, State University of New York, Harvard University, Sorborne University dan beberapa universitas lain di Eropa.

Di lain sisi, revivalitas agama ini juga mendorong menjamurnya kelompok/organisasi/sekte keagamaan yang cenderung pada cultic religion. Di Benua Amerika, konon terdapat lebih dari 1000 kelompok spiritual yang gejala-gejalanya jelas mengarah pada cultic religion. Di Asia sendiri – sebagai episentrum agama-agama besar dunia – juga ditenggarai adanya cultic religion ini, seperti kelompok LIA EDEN di Indonesia.

Implikasi dari keeklusifan cultic religion ini adalah adanya gejala tindakan yang tidak umum dijumpai di masyakarat, seperti kasus bunuh diri massal. Peristiwa bunuh diri massal menghebohkan terjadi pada tahun 1978 di Guyana, Amerika Serikat. Sejumlah 800 jama’ah kelompok kultus "People’s Temple" pimpinan Jame Jones melakukan bunuh diri massal di hutan belantara Jones Town. Mereka rela melakukan armageddon secara bersama-sama.

Peristiwa lain yang tak kalah menghebohkannya adalah kasus bakar diri massal pengikut sekte Branch Davidian (Ranting Daud) dari Gereja Advent Hari Ketujuh pimpinan David Koresh. Kejadian ini terjadi pada 19 April 1993 di sebuah pemukiman 16 km sebelah timur kota Waco, Texas, Amerika Serikat. David Koresh sendiri dikenal oleh pengikutnya sebagai laki-laki yang memiliki kepribadian menarik, penuh kharisma dan berdaya pikat tinggi. Wajah ganteng dengan rambut ikal terurai sebahu, membuat – terutama – banyak wanita tidak kuasa menolak keinginannya. Oleh karena itu, tidak pernah jelas berapa wanita yang pernah diperisterinya atau sekedar ditidurinya. Sejarah awal pernikahannya tercatat bahwa ia pernah mengawini seorang janda cukup usia yang menjadi pemimpin sekte Ranting Daud sebelum diambil-alihnya, Lois Roden. Ia tak peduli dengan usia Roden yang sudah 67 tahun sedangkan dirinya baru berusia 23 tahun ketika itu.

Catatan perkawinan selanjutnya terasa kurang sedap bagi standard kehidupan normal. Seorang gadis muda belia – untuk tidak mengatakan anak-anak – yang baru berusia 14 tahun bernama Rachel Jones dikawininya. Koresh selanjutnya melakukan sesuatu yang dilihat dari kacamata biasa sungguh tidak baik. Mengklaim diri menerima perintah dari Tuhan, ia membangun rumah (Nabi) Dawud yang baru. Dalam tradisi Kristiani, Dawud (Inggris : David) dikenal sebagai seorang Santo besar yang tidak pernah salah. Dawud beristrikan 99 wanita, yang diakhir kemudian digenapi menjadi 100 dengan memperistri Betsyeba (kelak menjadi ibu dari Nabi Sulaiman). Analogi dengan kisah (Israiliyat) Nabi Dawud tersebut, David Koresh mencita-citakan di rumah yang dibangunnya itu harus terdapat banyak istri, sebagaimana halnya Nabi Dawud. Koresh kemudian mengawini seorang gadis muda lagi, Robyn Bunds berusia 17 tahun, bahkan kemudian ibu mertuanya sendiri, Jeannine berusia 50 tahun, juga dikawininya. Terakhir diketahui bahwa Koresh juga mengawini adik iparnya dari istri pertama, Rachel, yaitu Michelle Jones yang baru berusia 12 tahun. Konon sebelum terjadi bunuh diri massal tersebut ada belasan anggota sekte yang "terpilih" menjadi calon istri David Koresh.

Dua contoh kasus di atas menunjukkan bahwa bunuh diri massal yang dilakukan sebuah kelompok kultus tidak serta-merta dapat dijustifikasi sebagai bentuk bunuh diri altruistik – sebagaimana asumsi yang dibangun oleh Dhurkheim. Dhuekheim berpandangan bahwa sebuah kelompok sosial yang mempunyai tingkat integrasi sosial tinggi mempunyai kecenderungan untuk melakukan bunuh diri altruistik. Namun, bunuh diri massal yang terjadi pada kedua kelompok kultus di atas – People’s Temple dan Branch Davidian – tidak bisa digolongkan sebagai bentuk bunuh diri altruistik. Alasannya, bunuh diri altruistik diidentikkan sebagai sebuah pengorbanan dalam wujud bunuh diri untuk membantu/menolong atau minimal sebagai wujud empati atas penderitaan orang lain. Dalam bunuh diri massal yang terjadi dalam kasus di atas, motifnya lebih pada tuntutan doktrinal yang bersifat egoistik daripada altruistik. Hal ini disebabkan tak ada alasan doktrinal kelompok – dalam melakukan bunuh diri massal – untuk membantu/menolong orang lain.

Atas dasar argumentasi di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa – tak seperti hipotesis Dhurkheim – sebuah kelompok sosial dengan tingkat integrasi sosial yang tinggi mempunyai kecenderungan untuk melakukan bunuh diri egoistik massal. Bunuh diri ini – seperti terlihat dari contoh kasus di atas – lebih didasarkan atas adanya tuntutan doktrinal yang dititahkan sang pemimpin kelompok sosial (baca : cultic religion) bersangkutan. Motif terjadinya bunuh diri egoistik massal ini berbeda dengan bunuh diri egoistik individual. Bunuh diri egoistik massal dilandasi atas adanya "visi" kolektif untuk mengakhiri hidup.

BOM BUNUH DIRI : SEBUAH BENTUK BUNUH DIRI ALTRUISTIK
Seperti telah penulis diskusikan di atas, sebuah cultic religion mempunyai kemampuan untuk mengintrodusir aktivitas kekerasan sebagai sebuah doktrin keagamaan (yang bersifat kelompok tentunya). Kasus-kasus bom bunuh diri yang beberapa tahun terakhir ini marak terjadi merupakan salah satu fakta betapa kuatnya kemampuan cultic religion dalam mempengaruhi visi dan misi anggotanya.

Pada larut malam, tanggal 12 Oktober 2002, bom meledak di depan Sari Club, Jl. Legian, Kuta, Bali. Kurang lebih 300 orang terluka dan 190 orang tewas akibat peledakan tersebut. Kebanyakan korban berasal dari Australia dan Indonesia. Dampak besar peledakan bom itu dirasakan terutama oleh masyarakat Bali karena ekonominya sangat tergantung kepada hasil bidang pariwisata yang setelah kejadian tersebut telah hancur. Tim investigasi (polisi RI dan polisi Australia) tidak perlu waktu yang lama untuk menangkap pelaku peledakan bom yang ternyata berasal dari kelompok cultic religion yang diklaim bernama "Jama’ah Islamiyah". Amrozi cs merupakan salah satu kelompok di Jama’ah Islamiyah yang dituduh melakukan aksi bom bunuh diri di Bali tersebut.

Selain di Bali, kelompok Jama’ah Islamiyah ini dituduh bertanggung jawab pada sejumlah aksi bom bunuh diri lainnya, seperti yang terjadi di Hotel JW. Marriot dan Kedubes Australia. Hasil investigasi dan analisis di lapangan menunjukkan bahwa motif dilakukannya bom bunuh diri tersebut tidak didasari oleh aspek-aspek egoistik/anomik. Terdapat klaim (doktrin) pada – salah satu kelompok1 – Jama’ah Islamiyah bahwa bom bunuh diri termasuk bagian dari jihad fi sabilillah (bersungguh-sungguh di jalan Allah). Para pelaku mengklaim bahwa aksi bom bunuh diri dilakukannya merupakan respon atas :1) pendudukan Israel yang sewenang-wenang di wilayah The West Bank dan sekitarnya; 2) pemboikotan terhadap Irak dan kekerasan yang terjadi diwilayahnya; dan 3) hegemoni dan kesewenangan Barat terhadao dunia Islam secara umum. Oleh karena itu, umumnya sasaran bom bunuh diri tersebut adalah titik-titik konsentrasi kepentingan AS/Barat di Indonesia.

Telaah lanjutan – dengan menggunakan analisis Dhurkheimian – dapat dipahami bahwa cultic religion semacam Jama’ah Islamiyah ini, yang mempunyai integrasi sosial tinggi dan solidaritas mekanik, mempunyai kecenderungan melakukan aksi-aksi bunuh diri yang bersifat altruistik, untuk kepentingan orang/pihak lain. Untuk konteks bom bunuh diri yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia akhir-akhir ini, motivasinya adalah sebagai bentuk solidaritas atas posisi umat Islam yang tertindas oleh kesewenang-wenangan Barat. Doktrinasi yang kuat oleh tokoh spiritual dalam cultic religion ini menjadikan anggotanya sanggup dan berani melakukan aksi-aksi bom bunuh diri. Secara pandangan orang pada umumnya, aksi-aksi bom bunuh diri tersebut adalah sesuatu yang irrasional, aneh dan mengerikan, tetapi bagi para pelakunya, bom bunuh diri yang telah mereka lakukan dianggapnya sebuah kehormatan agung (ultimate honour) dan tanggung jawab sebagai seorang muslim.

EPILOG : CATATAN UNTUK DHURKHEIM
Dhurkheim menganalisis bahwa dalam sebuah kelompok sosial dengan tingkat integrasi sosial yang tinggi dan solidaritas sosial yang bersifat mekanis mempunyai kecenderungan terjadinya bunuh diri altruistik. Namun, seperti telah penulis diskusikan dan analisis di atas, ternyata analisis Dhurkheim tidak sepenuhnya benar. Cultic religion – sebagai salah satu contoh kelompok sosial yang mempunyai tingkat integrasi sosial yang tinggi dan solidaritas sosial berbentuk mekanis – ternyata tidak hanya mempunyai kecenderungan untuk terjadinya bunuh diri yang bersifat altruistik, tetapi juga mempunyai kemampuan melakukan aksi bunuh diri egoistik massal.

MATERI KULIAH PENGANTAR SOSIOLOGI

Perubahan Sosial
(Lanjutan)


HARIS EL MAHDI
Home: Jl. Bromo 6/30 Batu
Hotline: 081357034349
E-mail: Harismahdi@Yahoo.com
Blog: Harismahdi.blogspot.com


Minggu Lalu kita telah bahas :
Perubahan Sosial Menurut :
- Auguste Comte : Perubahan sosial bersifat linear.
- Pitirim Sorokin : Perubahan sosial bersifat siklus.
- Karl Marx : Perubahan sosial karena adanya pertentangan kelas.

Faktor Pendorong Perubahan Sosial
- Kontak dengan Kebudayaan lain – diffusion
- Sistem pendidikan yang maju dan terbuka
- Sikap terbuka dan orientasi pd masa depan
- Toleransi terhadap penyimpangan
- Stratifikasi sosial terbuka
- Heterogenitas/pluralisme masyarakat

Faktor penghambat perubahan
- Masyarakat yang terisolasi
- Sistem pendidikan yang tdk memadai
- Kepentingan politik dan ideologi
- Konservatisme dan tradisionalis
- Prasangka thd hal-hal baru/asing
- Rasa takut adanya kegoyahan di masyarakat

Bentuk-bentuk Perubahan Sosial
- Evolusi
Perubahan sosial secara lambat, setahap demi setahap.
- Revolusi
Perubahan sosial secara cepat-radikal, mencakup seluruh aspek kehidupan.
- Reformasi
Perubahan sosial secara cepat tetapi tidak radikal, tidak menyentuh seluruh aspek kehidupan.

Reformasi 1998





REVOLUSI DI DUNIA
Revolusi Bholsevyk --- Rusia
Revolusi Kebudayaan -- China
Revolusi Industri – Inggris
Revolusi Perancis – Kerajaan mjd Republik
Revolusi Kemerdekaan 1945 – Indonesia
Revolusi Islam -- Iran

REFORMASI
Reformasi Meiji – Jepang
Reformasi 1998
Reformasi Uni Eropa
Reformasi DK PBB --- Hak veto

Agents of Change
-Tokoh Kharismatik – Imam Khomeini, Mahatma Ghandi, Soekarno, Hasyim Asy’ari
-Kaum muda & Mahasiswa – angkatan 1928, 1945, 1966, 1974, 1998
-Tekhnologi – Revolusi Industri, Revolusi IT
-Kalangan Intelektual – Nurcholis Madjid, Anis Baswedan, Amin Rais, Azyumardi Azra, Adian Husaini, Romo Mangunwijaya, Romo Mudji Sutrisno, dll

Efek Samping Perubahan Sosial
Euforia
Kesenangan/tindakan yang berlebihan terhadap suatu tema perubahan (bisa anarkhis)
Shock Culture (keterkejutan budaya)
Masy kaget dg adanya perubahan baru
Lag Culture
Perubahan terjadi tdk merata, shg ada bagian masy yg tdk tersentuh perubahan

Perubahan Sosial di Indonesia
Indonesia Pra Modern
- Fase Sri Wijaya
- Fase Majapahit
- Fase Kerajaan-kerajaan Islam
Indonesia Modern
- Fase Kolonialism
- Fase Kemerdekaan
- Fase Orde Lama
- Fase Orde Baru
Indonesia Post-Modern
- Fase Reformasi Politik
- Fase Transisi-Demokrasi

5 Agenda Reformasi 1998
Reformasi Politik – Demokrasi politik
Reformasi Ekonomi – Demokrasi ekonomi
Reformasi Hukum – kesetaraan di dpn hukum
Reformasi Pendidikan – pendidikan yg memanusiakan manusia & demokratis
Reformasi sosial-kebudayaan – Budaya disiplin, budaya malu, budaya anti-korupsi

TUGAS MAHASISWA
MENJADI KELOMPOK YG KRITIS DALAM MENGAWAL REFORMASI
MENDORONG PERAN MASY AGAR LEBIH PARTISIPATIF
MENEMPA DIRI UTK MJD SEORANG ENTERPRENEURSHIP YG PANCASILAIS (EKONOMI, SOSIAL, POLITIK, PENDIDIKAN, DSB)

1966
Karya: Taufik Ismail

Mahasiswa takut kepada Dosen
Dosen takut kepada Dekan
Dekan takut kepada Rektor
Rektor takut kepada Menteri
Menteri takut kepada Presiden
Presiden takut kepada Mahasiswa

Selasa, Oktober 20, 2009

AKU DAN SUKARNO

Seperti-halnya Sukarno…..
Aku mencintai wanita, dari ujung rambut sampai kakinya
Seperti-halnya Sukarno…..
Aku mencintai Indonesia, dari ujung Timur sampai Baratnya.

Hati dan jantungku bergetar…..
Saat menghirup dalam-dalam nafas para wanita.
Hati dan jantungku bergetar….
Saat memandang kecantikan Indonesia

Di atas mimbar, Sukarno adalah singa
Kata-katanya mengguntur penuh gelora
Di dalam rumah, Sukarno adalah bayi yang memanja
Laki-laki pengemis cinta dari kelembutan wanita

Tapi, jangan ditanya kecintaan Sukarno pada Indonesia
Air matanya meleleh, denyut jantungnya meledak
Saat Indonesia dicabik-cabik dan dicampakkan
“Tidak, jangan buat Indonesiaku merana !” ujar Sukarno

Aku adalah pemuja wanita,
Mencintai tiap bagian yang dimilikinya
Hati dan jantungku bergetar saat menatap wanita
Bibirku bertasbih, memuji kecantikan Tuhan dalam diri wanita

Sungguh..! aku mencintai negeri ini, Indonesia
Mencintai tanahnya, sungai-sungainya, gunung-gunungnya
Mencintai lautnya, ikan-ikanya, mutiara-mutiaranya
Mencintai rakyatnya, budayanya, makanannya

Tuhan sungguh suci, memahat dan mencipta wanita
Makhluk indah nan gemulai manifestasi sorga
Tuhan sungguh mulia, memahat-merajut Indonesia
Negeri Indah seindah sorga, Negeri kaya sekaya sorga

Wanita dan Indonesia adalah dua hal
Yang sama-sama – aku dan Sukarno – cintai
Menyaksikan wanita sama dengan merasakan Indonesia
Keduanya adalah manifestasi sorga

’Tidak...! jangan sekali-kali kau sakiti Wanitaku..!”
”Tidak..! jangan sekali-kali kau sakiti Indonesiaku..!”
”Tidak..! jangan sekali-kali kau sakiti Sorgaku..!”


Haris El Mahdi
Batu, 19 Oktober 2009

Kamis, September 17, 2009

RELASI GENDER DALAM PRESPEKTIF TRADISI SPIRITUALITAS ISLAM

Haris El Mahdi

Hawa tercita di dunia,
Tu’ temani Adam.
Begitu juga dirimu,
Tercipta tu’ temani aku
(Dewa 19)

Chemistry of Need
Wanita – dilihat dari sudut pandang manapun – selalu mempunyai sisi-sisi yang menarik dan memikat hati laki-laki. Dan, untuk alasan itulah Tuhan menciptakan wanita, yakni sebagai perhiasan sekaligus teman bercanda bagi laki-laki. Betapapun Tuhan telah mendesain alam semesta dengan tata arsitektural yang sungguh indah, elok dan menakjubkan, hati seorang laki-laki tak akan bisa tentram tanpa kehadiran seorang wanita di sampingnya atau di hadapannya. Seolah-olah terbersit dalam hatinya sebuah ungkapan: “Bolehlah Tuhan tidak menciptakan alam semesta, tetapi jangan Engkau biarkan diriku merana tanpa kehadiran seorang wanita!” Itulah naluri fitriyah setiap laki-laki di seluruh pojok dunia.

Dan, itulah sebabnya, Adam yang yang telah Tuhan ciptakan sebagai manusia pertama, hatinya selalu gelisah gundah-gulana meskipun hidup dan bertempat tinggal di Surga yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Dia (baca: Adam) merasa ada belahan jiwanya yang hilang. Dus, belahan jiwa Adam yang hilang itu adalah wanita atau lebih tepatnya Hawa…!

Lebih dari itu, wanita adalah mahakarya Tuhan yang mempunyai banyak misteri bagi laki-laki. Keindahan tubuhnya, kehalusan perasaannya dan kelembutan pribadinya membuat banyak laki-laki harus (baca: terpaksa) bertekuk-lutut dihadapan seorang wanita.

Tetapi tak jarang, dikarenakan kelemahan yang dimilikinya, perempuan menjadi “bahan permainan” laki-laki. Kadang-kadang atau bahkan sering terjadi, laki-laki memanfaatkan sisi kelemahan wanita untuk memuaskan nafsunya semata. Kita sering menyaksikan di panggung kehidupan ini, seorang wanita terpaksa meratapi kesedihan hanya dikarenakan dirinya tidak dihargai oleh kaum laki-laki. Kita juga sering menyaksikan, betapa banyaknya perempuan kehilangan kehormatan dan jati diri disebabkan ulah jahil kaum laki-laki. Di sinilah uniknya keberadaan perempuan di panggung kehidupan. Di satu sisi ia dipuja-puja oleh kaum laki-laki, namun di sisi lain ia dicampakkan laksana sampah yang tak berguna. kesedihan hanya dikarenakan dirinya tidak dihargai oleh kaum laki-laki. Kita juga sering menyaksikan, betapa banyak wanita kehilangan kehormatan dan jati diri disebabkan ulah jahil kaum laki-laki. Di sinilah uniknya keberadaan wanita di panggung kehidupan. Di satu sisi ia dipuja-puja oleh kaum laki-laki, namun di sisi lain ia dicampakkan laksana sampah yang tak berguna.

Namun demikian, bagi wanita, laki-laki juga sama misteriusnya. Ketampanan wajahnya, kharisma yang dimilikinya serta kewibawaan dan ketegasannya dalam menuntaskan permasalahan menjadikan wanita “terpaksa” bersimpuh untuk melayani laki-laki. Namun, tak jarang wanita merasa jijik terhadap laki-laki. Hatinya yang keras, perilakunya yang kejam dan ambisinya yang besar menjadikan wanita muak, jijik, dan tak suka dengan laki-laki. Baginya laki-laki tak ubahnya seperti seorang penguasa tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya, merampas harkat dan martabat kewanitaan. Dus, di sini pulalah uniknya keberadaan laki-laki di pentas panggung kehidupan. Di satu sisi ia (baca: laki-laki) dibutuhkan dan menjadi harapan bagi wanita, namun di sisi lain ia dibenci dan dicaci-maki.

Demikianlah sekilas hubungan yang terjadi antara laki-laki dengan wanita atau antara perempuan dengan pria. Sebuah hubungan hiperbolic, di satu sisi laki-laki membutuhkan wanita dan juga sebaliknya, namun di sisi lain laki-laki mencampakkan wanita dan perempuan membenci pria. Hubungan antara laki-laki dan wanita seperti ini telah menjadi sumber inspirasi bagi sebagian besar karya-karya sastra dunia.

Laki-laki – wanita: manifestasi sifat-sifat ilahiyah.
Tuhan yang satu, dalam tradisi Islam, disebut dengan nama Allah. Al-qur’an mengabadikan kata Allah sebanyak 2968 kali. Dia (Allah) adalah centre of everything atau axis of everything. Pencipta sekaligus penghancur kehidupan, pemaaf sekaligus penghukum bagi manusia-manusia yang berdosa. Dia maha perkasa (Al-Jabbar) sekaligus maha lembut (Al- Lathif).

Artinya, sebagai dzat, Allah adalah tunggal dan berbeda dengan makhluk. Al qur’an menjelaskan: “Dia-lah Allah yang Maha Esa” (QS 112:1) atau dalam penjelasan yang lain “Tak ada sesuatu pun serupa denganNya” (QS 42:11). Dalam konteks ini, Allah sangat jauh dan tak dapat didekati oleh makhluk-makhluk ciptaanNya. Para ilmuwan muslim mengistilahkan posisi ini sebagai “tanzih” yang bermakna bahwa Allah tak bisa dibandingkan, diserupai bahkan didekati.

Pertanyaannya: dengan cara apa manusia mendekati Allah? Al qur’an memberi jawaban: “Serulah Allah, serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik” (QS 17:110). Melalui nama-nama yang terbaik – Asmaa ‘ul Husna – itulah manusia dapat mendekati Allah. Inilah yang disebut dengan “tasybih”, yang bermakna bahwa Allah itu dekat dan dapat diserupai.

Asmaa ‘ul Husna berisi 99 nama-nama indah Allah, yang dapat dilihat dalam dua prespektif, yaitu nama yang merefleksikan sifat maskulin Allah dan nama yang merefleksikan sifat feminin Allah. Sifat-sifat maskulin Allah dapat merujuk pada sebutan Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Perkasa, Maha Tinggi, Maha Pemarah, Maha Penghancur, Maha Penyiksa, Maha Raja dan Maha Pemusnah. Hadits menyebut kesemuanya ini sebagai nama-nama keagungan (jalal), atau hebat (qahr), atau adil (‘adl) atau murka (ghadhab).

Sementara itu, sifat-sifat feminin Allah dapat dirujuk dalam sebutan Maha Indah, Maha Dekat, Maha Pengasih, Maha Penyayang Maha Kasih, Maha Lembut, Maha Pengampun, Maha Pemberi Hidup, dan Maha Pemberi Rizki. Semua ini dikenal sebagai nama-nama keindahan (jamal), atau kelembutan (luthf), atau anugerah (fadhl), atau rahmat (rahmah).

Artinya, Allah tidak hanya mempunyai sifat seorang ayah yang keras dan suka melarang-larang, tetapi juga mempunyai sifat seorang ibu yang hangat dan penuh kasih-sayang. Bahkan, Rasulullah pernah bersabda: “Rahmat Allah mendahului kemurkaanNya.” Dalam bahasa lain, sifat feminin Allah mendahului sifat maskulinNya.

Nah, melalui sifat-sifat Asmaa ’ul Husnaa yang saling berpasangan – feminin-maskulin – inilah Allah mencipta alam semesta. Langit Allah pasangkan dengan bumi, malam dengan siang, panas dengan dingin, gelap dengan terang, air dengan api dan seterusnya. Manusia pun Allah cipta berpasangan, laki-laki dengan wanita. Tak ada satupun makhluk ciptaan yang tunggal tanpa pasangan, karena hal itu menyalahi sifat Allah. Al- qur’an berbicara:”Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan” (QS 51:49). Singkat kata, seluruh isi kosmos – termasuk manusia – merupakan manifestasi dari sifat maskulin-feminin Allah.

Laki-Laki – Wanita: Dua Posisi yang Saling Melengkapi
Langit adalah pria,
Bumi adalah wanita,
Apa saja yang diberikan oleh satunya,
Yang lain pun menerimanya
.
(Jalaludin Rumi)

Dalam tradisi Islam, diterangkan bahwa Hawa dicipta melalui tulang rusuk Adam. Artinya, Hawa merupakan sisi feminin yang dimiliki Adam, sebaliknya, sisi maskulin Adam juga tersembunyi dalam jiwa Hawa. Hubungan antara Adam dan Hawa bersifat korespondensi, saling membutuhkan, melengkapi dan merindukan.

Saat Adam dan Hawa harus dipisahkan – karena memakan buah terlarang – keduanya terlunta-lunta di muka bumi, membawa beban berat kerinduan untuk saling bertemu. Andaikata, saat itu Allah tidak memisahkan keduanya, niscaya beban yang mereka bawa tidaklah terlalu berat.

Oleh karena itu – dalam tradisi Islam – relasi antara laki-laki dengan wanita bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan – sebagaimana tradisi pemikiran Barat. Keduanya Allah cipta saling melengkapi dan merindukan. Laki-laki merindukan wanita sebagaimana langit merindukan bumi. Langit sangat bergembira saat bumi mengeluarkan perhiasannya berupa tumbuh-tumbuhan beraneka ragam. Bumi pun menari-nari kegirangan saat langit mencurahkan hujan.

Al-Qur’an tidak mengenal feminisme ataupun maskulinisme, karena penekanan pada satu sisi berarti merusak kesetimbangan sekaligus menyalahi kefitrahan penciptaan. Al-Qur’an menerangkan: ”...mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS 2:187).

Wanita adalah cermin bagi laki-laki, demikian juga laki-laki adalah cermin bagi wanita. Dalam diri wanita, laki-laki bisa secara nyata melihat dan merasakan kualitas-kualitas feminin, sebaliknya dari laki-laki, wanita bisa melihat dan merasakan kualitas-kualitas maskulin. Saat melihat wanita, sejatinya laki-laki melihat sisi lain dari dirinya, demikian juga wanita. Dan, pernikahan mempertemukan dua kualitas itu – feminin dan maskulin – secara lebih intim.

Melihat Tuhan dalam Diri Wanita
Sebagaimana telah disinggung di atas, wanita adalah bagian dari laki-laki dan sebagian milik laki-laki ada dalam diri wanita. Wanita adalah ”harta karun” tersembunyi yang dicari dan dicintai laki-laki. Oleh karena itulah rasulullah mencintai wanita. Dalam sebuah hadits, rasulullah bersabda:”Tiga hal yang aku sukai dari duniamu adalah wanita, wewangian, dan dijadikannya mataku teduh dalam mengerjakan sholat.”

Jika Muhammad SAW – manusia paling sempurna – menyukai wanita, berarti ada sesuatu yang spesial – secara spiritual – dalam diri wanita. Tidaklah mungkin seorang Nabi mencintai sesuatu hanya didorong oleh nafsu belaka.

Telah kita bahas bahwa wanita sejatinya merupakan manifestasi dari sifat-sifat feminin Allah. Sifat-sifat Allah yang indah, lembut, pengasih, penyayang, dan pemberi rahmat terserap dalam diri wanita. Artinya, dalam diri wanita-lah kita bisa melihat dan merasakan keindahan Allah secara utuh. ”Allah itu indah dan menyukai keindahan” ujar sebuah hadits. Hal ini tak mungkin dapat kita lihat dan rasakan dalam diri laki-laki.

Nah, melalui keindahan dan kelembutan itulah manusia lebih mudah mendekati dan mencintai Allah daripada melalui sifat-sifat maskulinNya, seperti: Maha Perkasa, Maha Kuat dan Maha Penyiksa. Melalui sifat-sifat feminin Allah, manusia merasa lebih nyaman ”berbincang” dan ”bercengkrama” dengan Allah. Di sini kita bisa mengerti mengapa sifat feminin Allah mendahului sifat maskulinNya. ”Rahmat Allah mendahului murkaNya” ujar sebuah hadits. Dalam hadits yang lain, dinyatakan bahwa Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim (kualitas feminin) merupakan induk dari asmaa ’ul husnaa.

Oleh karena sifat feminin Allah melekat dalam diri wanita, maka secara spiritual sejatinya wanita lebih mudah merasakan kehadiran Allah daripada laki-laki. Wanita lebih mudah menangis memohon ampunan dan pertolongan Allah daripada laki-laki. Dalam konteks inilah Allah lebihkan wanita daripada laki-laki satu derajat.

Seperti halnya Muhammad SAW, Allah-pun mencintai wanita, karena dalam diri wanita-lah Allah bisa mengagumi keindahan diriNya bukan dalam diri laki-laki. Bahkan, Allah titipkan sebagian proses penciptaan pada diri wanita melalui rahim, wadah bagi nutfah untuk berproses menjadi manusia baru.

Dus, Laki-laki yang sanggup secara utuh menyerap sifat-sifat feminin Allah melalui diri wanita, maka dia akan mendapat anugerah sifat kenabian. Allah berfirman: ”...Telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan) dan keselamatan bagimu, amat belas-kasihan dan penyayang bagi orang-orang mu’min” (QS 9:128). Ayat di atas menjelaskan bahwa Muhammad – karena kecintaannya pada wanita – mampu menyerap sifat-sifat feminin Allah. Rasul mempunyai sifat belas-kasihan dan penyayang, sebuah kualitas sifat feminin.

Akhirnya, sebuah syair penulis sajikan untuk menutup tulisan ini:

Di rahimnya aku merasakan sorga
Di pangkuannya ’ku menemukan cinta
Keindahannya buatku terpesona
Jiwaku adalah wanita




Senin, September 14, 2009

PREMATURE SOCIETY

Oleh: Haris El Mahdi

“By dint of meaning, information, and transparence our societies have passed beyond the limit point, that of permanent ecstasy: the ecstasy of the social (masses), the body (obesity), sex (obscenity), violence (terror), and information (simulation).”
(Jean Baudrillard, The Ecstasy of Communication, 1987)

Pra-Wacana
Ilmu-Pengetahuan, moralitas, etika, sopan-santun, dimanakah saat ini ? di balik gegap-gempita infotainment-kah, yang setiap hari mondar-mandir di TV? Ataukah di antara acara-acara reality-show yang menyentuh perasaan dan menguras air-mata penonton? Atau malah berada di sudut dunia maya, hadir berdampingan bersama obrolan-obrolan ringan para pengguna Facebook, Friendster, Twitter dan yang sejenisnya.

Kita telah terjebak dalam “proyek lupa” menurut pengertian Milan Kundera, atau setidak-tidaknya “lupa-lupa ingat”, dalam bahasa syair yang didendangkan oleh grup band Kuburan. Dunia benar-benar bertransformasi dalam memaknai nilai dan norma. Standarisasi nilai (baik atau buruk) tidak lagi ditentukan oleh lembaga-lembaga yang berkompeten, tetapi ditentukan oleh pasar (market). Sesuatu yang tak rasional dan tak bermutu bisa sangat membumi dan digandrungi masyarakat, politisi-politisi yang tak bermoral bisa melenggang mudah menjadi wakil rakyat selama dia bisa menguasai dan diterima pasar dan kebudayaan-pun bertransformasi pada hal-hal yang bersifat artificial dan pseudo.

Coba ditengok betapa dahsyatnya penerimaan masyarakat atas lagu Tak Gendong karya mbah Surip. Lagu – yang dalam prespektif penulis – sangat sederhana dan minim makna. RBT lagu ini bisa mencapai miliaran rupiah. Artinya, masyarakat merasa happy dengan lagu itu, lagu yang enak di dengar telinga (easy listening) dan sekedar sebagai lucu-lucuan (just for joke), tidak lebih dari itu. Masyarakat kita telah kehilangan sense of personality, kehilangan kesadaran akan jati diri.

Anda simak pula acara-acara yang disajikan televisi setiap hari, yang didominasi oleh sinetron-sinetron yang miskin ide, infotainment dan acara reality-show. Media massa telah menjadi raksasa super-body yang menghipnotis masyarakat. Simak pula acara-acara musik di TV dan Radio yang tidak pernah berhenti bereproduksi setiap hari. Mengajak masyarakat untuk terus berdendang dan bergoyang, melupakan carut-marut masalah kebangsaan. Bahkan, acara-acara resmi kenegaraan terasa hambar jika tidak diselipi dengan musik atau hiburan. Seorang pejabat pemerintah akan merasa malu jika tidak turut menyanyi dan bergoyang dalam acara-acara resmi itu.

Sementara itu, anak-anak dan kaum muda sibuk mengisi waktu luang dengan game online; ber-Facebook-ria; menonton konser musik; main Futsal; kongkouw-kongkouw di Mall, cafe, pub atau diskotik berdiskusi tentang produk tekhnologi komunikasi terbaru dan yang sangat parah, tidak sedikit dari kaum muda kita mengisi waktu luang dengan mengakses situs-situs porno. Indonesia pun mendapat predikat sebagai salah-satu negara dengan pengakses situs-situs porno terbanyak di dunia. Sangat ironis........

Forum-forum diskusi, kajian dan seminar sepi peminat, kecuali disisipi dengan mengundang artis Ibu-kota atau seminar yang membahas Cara Mudah Mandapat Uang, Kiat-Kiat Menjadi Pengusaha Sukses, Cara Sehat Membahagiakan Pasangan dan tema-tema sejenis yang berorientasi untuk meraih kesenangan duniawi.
Singkatnya, secara tidak-sadar, kita digiring untuk mengisi hidup dengan ”happy-happy,” tertawa, bersenda-gurau, asal-asalan dan permisif

The Third Wave Epidemic
Alvin Toffler (1981) dalam buku “The Third Wave”, membagi peradaban manusia dalam tiga fase episode sejarah, yaitu :

Gelombang peradaban pertama (The First Wave)
Pada fase ini, masyarakat berada pada ruang lingkup kebudayaan agraris atau agrikultural. Ritme perubahan sosial masih berjalan sangat lambat. Mobilitas sosial, ekonomi, dan budaya relatif rendah dan bahkan cenderung stagnan. Nilai-nilai lokal (lokal genius) masih menjadi panutan utama dalam melanggengkan hubungan atau interaksi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Dalam prespektif sosiologi, masyarakat agrikultural ini merupakan masyarakat teologis dan/atau masyarakat metafisik (menurut Auguste Comte). Dalam fase ini, tekhnologi yang dikembangkan oleh masyarakat adalah tekhnologi yang bersifat “alamiah”, yakni tekhnologi dengan bahan baku utama bahan-bahan yang ada di alam. Dengan bahasa lain, ketergantungan manusia atau masyarakat pada sumber daya alam sangat tinggi, hal ini mendorong manusia untuk berinteraksi secara intim (bersahabat) dengan alam. Meskipun demikian, bukan berarti pada fase ini masyarakat tidak mengalami perubahan sama sekali, tetapi perubahan terjadi dengan sangat lambat. Secara historis, fase gelombang pertama ini dapat kita lihat pada bangsa Sumeria dan juga bangsa-bangsa lain di Mesopotamia, sebagai tonggak sejarah awal munculnya peradaban agraris yang membedakan dengan periodesasi peradaban sebelumnya, yakni periode peradaban pra-sejarah.

Gelombang peradaban kedua (The Second Wave)
Pada gelombang peradaban kedua ini, ditandai dengan ditemukannya tekhnologi elektronik dan mekanik yang pada gilirannya mendorong berkembangnya industrialisasi, sehingga kebudayaan yang berkembang pun adalah kebudaayan industri (industri-kultural). Pada fase industri ini, tekhnologi mesin mempunyai peranan yang cukup dominan dalam proses-proses industri. Oleh karena itu, beberapa ahli justru memilih istilah “tekhnikalisasi” daripada “industrialisasi” dalam mengenali sifat pokok dari peradaban gelombang kedua ini. Indutrialisasi adalah merupakan proses yang menjadi kelanjutan atau bisa dianggap sebagai dampak langsung dari tekhnikalisasi, yaitu ketika spesialisasi tekhnikalistis itu diterapkan dalam usaha peningkatan produksi ekonomi. Oleh sebab itu, Marshall Hodgson mendefinisikan “tekhnikalisasi” sebagai :

“a condition of calculative (and hence innovative) technical specialization, in which several specialities become interdependent on a large enough scale to determine patterns of expectation in the key sectors of a society, especially oversas commerce.” (Hodgson : 1974)

Dengan demikian, maka “industrialisasi” dapat kita maknai sebagai : “prevelence of such power mechanized industry in a country’s economy” (Hodgson : 1974). Revolusi industri di Inggris merupakan tonggak sejarah munculnya gelombang kedua ini. Secara sosiologis, fase peradaban gelombang kedua ini dapat dikategorikan pada fase masyarakat positivisme (menurut istilah Comte). Hal ini lebih disebabkan proses pemgambilan keputusan diteakankan pada kalkulasi-kalkulasi rasionalitas bukan pada hal-hal yang bersifat metafisik. Perubahan sosial pada fase ini sudah lebih dahsyat dan cepat jika dibandingkan dengan peradaban gelombang kedua.

Gelombang peradaban ketiga (The Third Wave)
Menurut Toffler, arus gelombang ketiga merupakan proses lanjutan dari arus gelombang pertama dan arus gelombang kedua. Jika pada gelombang pertama perubahan sosial berjalan mengikuti deret hitung dan pada gelombang kedua perubahan sosial mengikuti deret ukur, maka pada arus gelombang ketiga ini perubahan sosial bersifat “exponential”. Artinya, proses perubahan sosial yang terjadi berjalan dengan sangat cepat melebihi perubahan sosial yang terjadi pada fase industrial. Kekuatan utama dari fase ini terletak pada perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi. Televisi, radio, telephone, komputer, internet, dan handphone adalah produk-produk dari tekhnologi informasi dan komunikasi yang menjadi agen-agen pembaharuan.

Periodesasi peradaban di atas – untuk sementara ini – berjalan secara linier, dan sekarang dunia sedang terserang epidemi badai gelombang ketiga. Namun sayangnya, di negara-negara berkembang badai gelombang ketiga ini terjadi terlalu cepat, sehingga struktur lama yang belum mapan harus melakukan kompromi dengan struktur baru. Jalaludin Rahmat (1997) mengungkapkan :

“Dengan skala sejarah umat manusia seperti itu tampak bahwa kita sekarang berada
di tengah-tengah ledakan tekhnologi informasi, dengan akselerasi yang semakin tinggi. Ledakan informasi ini telah mengguncang dunia Barat, karena kedatangannya yang beruntun. Toffler menyebut Barat sedang menyaksikan sekaratnya gelombang peradaban kedua. Ledakan ini mengguncang negara-negara ketiga secara lebih dahsyat lagi. Bagi mereka, tekhnologi informasi datang pada saat gelombang peradaban pertama (peradaban agrikultural) masih bercokol dan gelombang peradaban kedua (peradaban industri) masih menyerap.”

Epidemi gelombang ketiga ini bergerak sangat cepat dan merata diseluruh pojok dunia dan di semua sendi kehidupan. Semua individu di planet ini mabuk-kepayang terkena cyber-space virus, telecomunication addict dan information syndrome. Tak terkecuali negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Sayangnya – seperti dijelaskan Jalaludin Rahmat di atas – untuk konteks dunia ketiga, kehadiran gelombang ketiga ini terlalu cepat, sehingga terjadi shock culture di mana-mana.

Kecepatan dan keterbukaan informasi dimaknai sebagai serba-boleh (permisif), serba cepat, serba aktual, serba instan dan serba mudah. Tembok-tembok primordialisme-pun terbongkar dengan sendirinya. Hal-hal yang dianggap tabu menjadi sesuatu yang lumrah. Hubungan-hubungan sosial antar individu terjalin sangat mudah dengan nyaris tanpa kontrol. Siapa yang bisa mengontrol Anda saat berchatting-ria dengan orang-orang ”asing” yang berada nun jauh di sana melalui media-media jejaring sosial? Tidak ada, kecuali diri Anda sendiri

Lebih dari itu – ibarat sebuah kotak Pandora – the third wave epidemic ini berpotensi membuka segala bentuk kemudharatan dan kita tak kuasa membendungnya. Dan – seperti telah diilustrasikan oleh Baudrillard – masyarakat akan bergerak menuju hyper-modernitas, euforia, banalitas dan akhirnya catastrope.

Post-Wacana
Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk membuka kesadaran pembaca bahwa sekarang ini kita berada dalam dunia yang menggiring manusia pada ketidak-sadaran, menuju permanent ecstasy. Selanjutnya terserah Anda dalam membaca dan menghayati kondisi ini. Apakah Anda tetap menjadi individu yang tak-sadar? Ataukah menjadi individu yang sadar di tengah ketak-sadaran massal? Inilah yang saya sebut masyarakat prematur.

Pustaka
Baudrillard, Jean, The Ecstasy of Communication, New York, 1987.

Rahmat, Jalaludim, , Generasi Muda di Tangah Arus Perkembangan Informasi, dalam Idy Subandi Ibrahim, Ecstacy Gaya Hidup, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Penerbit MIZAN, Bandung, 1997

Hodgson, Marshall G. S, The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization, University of Chicago Press, Chicago – Illinois, 1974

Toffler, Alvin, The Third Wave, Bantam Books, New York, 1981.

Rabu, September 09, 2009

PANCASILA: AZAS DEMOKRASI BERCIRI KEINDONESIAAN

Haris El Mahdi

PRA-WACANA
Perkataan demokrasi pertama kali diciptakan oleh sejarawan Yunani, Herodatus, pada abad 5 SM. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat (demo: rakyat; kratein: memerintah). Sistem ini sudah sejak awal mendapat kritik tajam dari pemikir Yunani lainnya seperti Plato, Aristoteles, dan bahkan Thucydides, karena mereka menilai bahwa warga negara biasa tidak kompeten untuk memerintah, tidak mampu melihat segala sesuatu di luar jangkauan kepentingan pribadi jangka pendek. Hal ini terutama merupakan pendapat Plato, seorang filsuf elitis Yunani. Tetapi, orang Yunani kuno umumnya percaya bahwa demokrasi adalah tatanan politik yang terbaik untuk menciptakan kestabilan politik. Bahkan, Winston Churchill pun berujar:”Democracy is worst possible form of government.....” – Demokrasi adalah kemungkinan terburuk dari sebuah pemerintahan.....

Lepas dari segala kelemahannya, di akhir abad 20 hampir tak ada bangsa di muka bumi yang tak mengaitkan diri kepada demokrasi sebagai sistem politik, baik sungguh-sungguh maupun pura-pura. Tentang hal ini, Samuel P Huntington, direktur Center for International Affairs (CFIA) Universitas Harvard mengungkapkannya sebagai berikut :

“Democratization is an ongoing process, and one that is becoming increasingly irreversible”
(Demokratisasi adalah suatu proses terus-menerus, yang kini semakin tidak bisa dibalikkan lagi.)

Memaknai ungkapan dari Huntington di atas, demokrasi dianggap sebagai sebuah kemestian sejarah yang dewasa ini sedang berlangsung dan tak mungkin untuk kembali surut ke belakang. Dunia saat ini sedang menjadikan demokrasi sebagai “grand experiment” untuk menata kehidupan sosial-politiknya (Madjid, 1997; Ma’arif, 1996), tak terkecuali dengan yang terjadi di Indonesia. Tak heran jika Francis Fukuyama – dengan arogan – menegaskan bahwa demokrasi adalah titik akhir perjalanan evolusi ideologi manusia, The End of History.

Namun demikian – dalam sejarahnya – demokrasi selalu memunculkan pemaknaan yang beragam sesuai dengan kondisi kultur, jaman dan sentimen politik. Untuk konteks Indonesia, wajah demokrasi mengalami beberapa kali metamorfosis. Tahun 1945-1958 Indonesia menggunakan istilah Demokrasi Liberal. Namun dalam rentang pelaksanaannya, baru pada tahun 1955 – ketika dilaksanakan Pemilu I – Indonesia benar-benar menerapkan Demokrasi Liberal yang utuh. Kemudian, Soekarno – di masa-masa akhir kekuasaannya – membuat istilah Demokrasi Terpimpin yang cenderung otoriter dan di era Orde Baru – Soeharto – mempopulerkan istilah Demokrasi Pancasila, yang juga tidak jauh dari watak otoritarianisme.

Saat ini – pasca-reformasi – blue-print demokrasi di Indonesia juga belum menemukan titik temu yang memadai dalam menata kehidupan bermasyarakat. Wajah demokrasi pun carut-marut tak jelas arah tujuannya. Meskipun, dalam banyak hal kita sedang bergerak menuju “Demokrasi Liberal,” namun dalam perjalanannya terdapat praktik-praktik sosial yang tidak menutup kemungkinan berbalik-arah menuju sistem otoriter gaya baru. Runtuhnya Orde Baru, yang dianggap sebagai momen bagi gerakan demokrasi di Indonesia, ternyata belum mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Sebaliknya, banyak tudingan bahwa rejim”reformasi” justru membawa Indonesia ke jurang kehancuran. Hal ini ditengarai dengan makin akutnya praktek kolusi-korupsi-nepotisme dan makin lemahnya supremasi hukum. Di sisi lain, kekerasan (sosial dan politik), tidak terjaminnya kebutuhan dasar, dan kebebasan dalam aktualisasi – kritisisme pers, akademisi, dan publik – makin tidak menjadi prioritas dari pemerintah. Singkatnya, prinsip check and balance yang merupakan piranti penting dalam kehidupan demokrasi belum benar-benar berjalan di Indonesia pada era reformasi ini.

Tulisan ini mencoba membuka ruang diskursus tentang bagaimana seharusnya demokrasi diajarkan dan dijalankan dalam bingkai keindonesiaan. Hal ini layak dikedepankan karena Indonesia mempunyai sejarah dan kultur yang berbeda dengan negara lain. Oleh karena itu, pemaknaan dan pelaksanaan demokrasi harus ditelusuri dan digali dari sejarah dan kultur Indonesia sendiri, bukan diambil secara taken of granted dari kebudayaan asing – terutama Barat – yang belum tentu cocok dengan karakter keindonesiaan.

Dalam sejarah panjang Indonesia, Pancasila merupakan nilai-nilai dasar kebangsaan yang disepakati sebagai pengikat dan perekat bagi persatuan dan kesatuan Indonesia yang multi kultur. Oleh karena itu, Pancasila seharusnya dijadikan sebagai azas dalam setiap aspek kehidupan – termasuk dalam kehidupan berpolitik. Azas yang digali dan dihayati secara sungguh-sungguh, tidak sekedar sebagai jargon politik yang didoktrinkan untuk melanggengkan kekuasaan seperti yang dipraktekkan oleh rejim Orde Baru.

MEMBINCANGKAN DEMOKRASI INDONESIA
Di atas telah disinggung tentang realitas historis eksperimen demokrasi di Indonesia yang senantiasa bermetamorfosis, bahkan sampai sekarang. Pertanyaannya, apakah demokrasi adalah sesuatu yang bersifat indigenous bagi rakyat Indonesia? Atau bagaimanakah demokrasi yang sesuai dengan spirit keindonesiaan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sebagai bentuk refleksi atas realitas kehidupan demokrasi di Indonesia sejak kemerdekaan, yang senantiasa diwarnai otoritarianisme. Soekarno menterjemahkan demokrasi dalam bentuk demokrasi terpimpin yang berwatak otoriter, sedangkan Soeharto mengusung demokrasi Pancasila sebagai jargon politik – yang juga berwatak otoriter. Atau, jangan-jangan otoritarianisme itulah yang bersifat indigenous bagi rakyat Indonesia.

Untuk Membincangkannya, ada baiknya pendapat Mohammad Hatta dijadikan sandaran analisis. Menurut Bung Hatta, sumber demokrasi ( baca: demokrasi sosial) di Indonesia ada tiga, yaitu :
  1. Sosialisme Barat, yang membela prinsip-prinsip kemanusiaan yang sekaligus dipandang sebagai tujuan dari demokrasi,
  2. Ajaran Islam, yang memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat, dan
  3. Pola hidup dalam bentuk kolektivisme yang sebagaimana terdapat di desa-desa di Indonesia.

Bung Hatta mempunyai keyakinan bahwa pondasi demokrasi di Indonesia sudah cukup solid karena didukung kombinasi organik ketiga kekuatan sosio-religius di atas yang memang sudah mengakar dalam sebagian besar masyarakat kita. Lebih lanjut, Bung Hatta berujar: “Demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Bila demokrasi lenyap maka lenyap pulalah Indonesia Merdeka.”

Analisis Bung Hatta tersebut menunjukkan bahwa secara infrastruktur, rakyat Indonesia sudah siap dan sanggup untuk memajukan kehidupan berdemokrasi. Bahkan, kehidupan berdemokrasi tersebut sudah tampak nyata di desa-desa yang terekam dalam aktivitas pemilihan kepala desa secara langsung. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa demokrasi bukan hal baru bagi kehidupan politik rakyat Indonesia. Dalam bahasa lain, demokrasi bersifat indigenous bagi rakyat Indonesia.

Namun demikian, demokrasi yang tumbuh dan berkembang di Indonesia mempunyai semangat dan cita rasa yang jauh berbeda dengan style demokrasi Barat. Di sinilah yang menjadi masalah saat ini. Barat – dengan watak kolonialismenya – berusaha mendikte negara-negara Timur agar menganut demokrasi sesuai dengan yang Barat pahami. Padahal, setiap bangsa mempunyai sejarah dan kebudayaannya sendiri, yang unik dan berbeda dengan bangsa lain. Oleh karena itu, adalah hak setiap bangsa untuk menggali dan menumbuh-kembangkan kebudayaannya. Sebaliknya, tak ada hak bagi sebuah bangsa memaksakan kehendak agar kebudayaannya berlaku atau diberlakukan pada bangsa lain. Inilah prinsip kemerdekaan sejati yang seharusnya menjadi pegangan setiap bangsa.

MEMAKNAI DAN MENGHAYATI SILA-SILA PANCASILA
Jika diselami secara mendalam, sebenarnya nilai-nilai demokrasi yang berciri keindonesiaan terekam secara nyata pada sila-sila yang tertuang dalam Pancasila3 – terutama sila keempat. Setiap sila dari Pancasila merupakan karakter inti (core characterisc) dari nilai-nilai kultur-budaya setiap etnis yang ada di Indonesia. Pancasila adalah jiwa bangsa yang seharusnya dijadikan patokan dasar dalam menata kehidupan bangsa, termasuk dalam kehidupan berdemokrasi.

Pancasila dengan semua silanya yang lima itu adalah suatu kesatuan yang utuh, yang tidak boleh dan tidak bisa dipisahkan unsur-unsurnya. Oleh karena itu, pelaksanaan Pancasila pun haruslah utuh, tanpa ada tekanan pada salah satu silanya secara tidak beralasan4. Namun demikian, untuk menggali maknanya secara mendalam, kita harus menyelami setiap sila tersebut. Hal ini dilakukan agar Pancasila bisa hidup dan menghidupkan setiap jiwa anak bangsa dalam setiap bertindak mengatas-namakan bangsa dan negara5.

I. Sila Pertama: Ketuhanan yang Maha Esa,
Sila ini merupakan ruh/spirit kebangsaan, yang memproklamirkan bahwa manusia Indonesia berwatak religius – percaya kepada Tuhan yang Maha Esa. Tuhan (bahasa Arab: Ilah) sendiri dapat kita maknai sebagai sesuatu yang dijadikan idola, sandaran hati atau tempat bergantung manusia. Dalam pengertian ini, kepercayaan kepada Tuhan merupakan sesuatu yang bersifat naluriah dalam diri setiap manusia. Bahkan, seorang atheis sekalipun, sejatinya dia mempunyai Tuhan – sesuatu yang menjadi sandaran hatinya. Entah Tuhan-nya itu berwujud uang atau kekayaan materi; alam atau bagian-bagian spesifik dari alam, seperti : matahari, bintang, gunung, dsb; dan Tuhan itu juga bisa berwujud manusia atau kemanusiaan (humanisme) – atau dalam bahasa lain menuhankan dirinya sendiri (eksistensialisme). Singkatnya, tak ada satupun manusia di jagad ini yang tak bertuhan atau tidak mempercayai Tuhan. Manusia senantiasa rindu untuk memuja sesuatu yang menjadi tumpuan hatinya – apapun wujudnya.

Lebih dari itu, kepercayaan pada Tuhan memberikan spirit bagi manusia untuk memaknai hidup. Manusia yang menjadikan uang atau kekayaan materi sebagai Tuhan, hidup akan dimaknainya sebagai kesempatan untuk mengumpulkan uang atau kekayaan materi sebanyak-banyaknya. Time is money, demikian semboyan para pemuja uang. Bagi mereka, uang dapat menyelesaikan segala-galanya, dapat menuntaskan setiap permasalahan yang ada. Demikian halnya para pemuja alam. Mereka menganggap bahwa alam semesta yang terhampar luas mempunyai “kecerdasan agung.” Pergantian siang dan malam, butiran-butiran air (hujan) yang turun dari langit, keindahan pemandangan di bawah laut, kesetimbangan tata-aturan semesta, dan beragam fenomena alam lainnya dipahami sebagai kecerdasan dan kekuatan misterius alam. Setiap detik, para pemuja alam ini, tak henti-hentinya takjub dan kagum terhadap keindahan dan kekuatan alam. Kemudian, dibuatlah sistem ritual untuk memuja alam. Hal juga berlaku pada para pemuja manusia atau kemanusiaan. Seorang laki-laki yang terpikat pada gadis pujaan. Setiap menit, setiap detik yang menjadi “dzikir”-nya adalah si gadis pujaan itu. Tak ada waktu tersisa kecuali kerinduan yang mendalam untuk berjumpa dengan Tuhan-nya, si gadis pujaan.

Singkatnya, umur setiap manusia di dunia ini dihabiskan hanya untuk memuja Tuhan, sesuai yang menjadi kepercayaannya. Bahkan, manusia rela berkorban, dan tahan menderita demi mengagungkan kebesaran Tuhannya.

Tetapi, Pancasila memandang bahwa kepercayaan selain kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah palsu. Menjadikan hati manusia tertekan dan terbelenggu. Tak bisa merasakan ketenangan, ketentraman dan kedamaian hidup, senantiasa diliputi perasaan was-was, cemas dan khawatir. Oleh karena itu, manusia harus membebaskan dirinya dari kepercayaan kepada Tuhan-Tuhan palsu itu.

Manusia religius yang beriman senantiasa menghadirkan Tuhan Yang Maha Esa dalam hatinya6, locus paling private dari dirinya. Hati adalah tempat paling rahasia dan tersembunyi yang dimiliki manusia. Di hati itulah manusia memendam seluruh perasaan, menyembunyikan segala rahasia yang tak ingin diketahui orang lain, dan tak ada satupun manusia yang bisa “membaca” hati orang lain7. Hanya Tuhan Yang Maha Esa sajalah yang tahu-persis isi hati manusia, di lubuk hati yang paling tersembunyi sekalipun. Di ruang rahasia dan penuh misteri – yang bernama hati itulah – Tuhan Yang Maha Esa dengan seluruh sifat-sifatnya yang indah bersemayam menjadi spirit manusia beriman. KehadiranNya di dalam hati itu menjadikan manusia beriman senantiasa dituntun untuk berpikir, berkata dan bertindak selaras dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Lebih dari itu “kehadiran” Tuhan Yang Maha Esa dalam ruangan hati menjadikan manusia beriman senantiasa dihiasi dengan jiwa yang lapang, tentram dan damai. Bersih dari segala kotoran hati, seperti: Keangkuhan, iri-dengki, dendam dan keserakahan.

Oleh karena itu, manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa selalu bersikap tawadhu’ ( Bahasa Jawa : andhap ashor), menghargai orang lain, pemaaf dan merasa cukup dengan yang telah diterimanya (sesuai dengan kadar usahanya). Hati nurani manusia beriman senantiasa terdorong untuk menegakkan kebenaran dari Tuhan dalam kehidupan, menjadikan lingkungan tempat tinggalnya dipenuhi dengan suasana bersahabat penuh kedamaian, jauh dari rasa saling membenci dan permusuhan. Lebih dari itu, manusia beriman bekerja dengan berprinsip sepi ing pamrih rame ing gawe. Artinya, sibuk/giat bekerja tanpa mengharap balasan, baik itu berupa pujian apalagi yang berupa materi. Semua hidupnya diwakafkan untuk kemaslahatan hidup dan kehidupan. Singkatnya, seluruh sifat-sifat indah Tuhan Yang Maha Esa menyerap ke dalam hati manusia beriman dan menghiasi lingkungan sekitarnya, tempat manusia beriman itu berada.

Hal ini tentu berbeda jauh dengan kondisi hati manusia yang tidak percaya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan tidak pernah hadir/dihadirkan dalam hatinya. Hati orang yang tidak beriman penuh-sesak dengan urusan-urusan dan perhiasan-perhiasan duniawi, seperti: harta, tahta, dan ketertarikan kepada lawan jenis – atau bahkan sejenis. Hatinya tak pernah tenang, damai dan tentram, karena selalu dituntut dan dituntun untuk memenuhi keinginan diri atas perhiasan-perhiasan duniawi tersebut. Manusia yang tak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa ini hanya mau bekerja asal mendapat imbal-balas, entah itu berupa pujian maupun materi.

II. Sila Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab,
Sila ini merupakan watak-kepribadian bangsa. Tanpa mewujud dalam bentuk kemanusiaan yang adil dan beradab, keimanan seseorang belum dinyatakan sah dan dapat dipertanggung-jawabkan. Artinya, bukti nyata dalam kehidupan bahwa seseorang itu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah memanifestikannya dalam bentuk kepribadian yang adil dan beradab. Dalam bahasa lain, kemanusiaan yang adil dan beradab dapat diwujudkan hanya oleh manusia yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Manusia yang tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa pasti tak bisa mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini dikarenakan hatinya dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan diri, sehingga tak mungkin dia bisa menjadi manusia yang adil dan apalagi beradab. Keadilan dan keberadaban membutuhkan manusia yang di dalam hatinya ber”semayam” Tuhan Yang Maha Esa. Singkatnya, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab bersifat manunggal, satu paket yang tak bisa dipisah-pisahkan.

Adil di sini bermakna menempatkan segala sesuatu sesuai dengan porsinya secara proporsional. Hal ini tentu berbeda dengan konsep sama-rata, sama-rasa a la Komunis. Setidak-tidaknya terdapat tiga (obyek) yang manusia harus bersikap adil terhadapnya, yaitu:

  1. Adil terhadap diri-sendiri, setiap manusia mempunyai batas-kemampuan dan potensi diri. Oleh karena itu, tidak adil jika manusia membebani dirinya dengan sesuatu yang melampaui batas kemampuan dan potensi diri. Contoh: seorang yang berpenghasilan Rp. 10.000, - per hari, tidak bisa dikatakan adil – terhadap dirinya sendiri – jika dia menjadi member perkumpulan olahraga golf yang memungut iuran Rp. 500.000, - per bulan bagi anggotanya. Tidak adil karena batas kemampuan dan potensi dirinya hanya sampai pada limit Rp. 300.000,- per bulan. Sebaliknya, dikatakan adil jika ritme kehidupannya – dalam memenuhi kebutuhan – mengikuti penghasilnnya per bulan itu. Tidak “lebih besar pasak daripada tiang,” ujar sebuah peribahasa.
  2. Adil terhadap orang lain, menyadari bahwa setiap manusia juga mempunyai batas kemampuan dan potensi – seperti halnya yang berlaku pada dirinya – maka tak layak bagi seseorang membebani orang lain di luar batas kemampuan dan potensi dirinya. Contoh : belum dikatakan adil jika kita memberi tugas – apalagi memaksa – orang buta huruf untuk menjadi penulis. Ini hanya contoh ekstrim, sekedar untuk mensimulasikan bentuk ketidakadilan kepada orang lain.
  3. Adil terhadap lingkungan/alam, seperti halnya manusia, lingkungan/alam juga mempunyai batas kemampuan dan potensi. Ketidakadilan dalam memanfaatkan kemampuan dan potensi lingkungan/alam pasti akan berdampak pada kerusakan. Bencana banjir, misalnya, merupakan akibat ketidakadilan manusia dalam menebangi hutan tanpa memperhatikan kemampuan dan potensi alam untuk memulihkan diri. Bencana/kerusakan alam-lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini adalah akibat ketidakadilan manusia terhadap alam.

Ketiga obyek di atas mempunyai hubungan yang manunggal, tak bisa dipisah-pisahkan. Seseorang – disamping harus adil terhadap diri sendiri – juga harus adil terhadap orang lain dan lingkungan/alam. Maknanya, belum dikatakan adil jika yang dituntut hanya penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) tanpa memperhatikan Hak Azasi Lingkungan/Alam. Keadilan berarti mendudukkan Hak Azasi Manusia dan Hak Azasi Lingkungan/Alam secara proporsional sesua dengan porsinya.

Keadilan (dan kebenaran) ini hanya dapat ditegakkan oleh manusia yang beradab, yaitu manusia yang mengikuti adab (tata-aturan/hukum). Tak mungkin keadilan bisa tegak-kokoh dalam kehidupan, jika manusia yang menjalankan keadilan itu tak beradab, tak berazas pada tata-aturan hukum kebenaran. Oleh karena itu, hukum kebenaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa harus menjadi acuan manusia yang beradab.

Di samping itu, beradab juga bermakna watak moral, sopan santun, tata-krama atau budi pekerti luhur. Dalam bahasa Arab disebut akhlaq-ul karimah, perilaku yang indah. Keadilan mencerminkan derajat akhlaq-ul karimah seseorang atau bangsa. Oleh karena itu, keadilan harus ditegakkan dengan berazas pada budi pekerti luhur, tidak semena-mena atau sewenang-wenang, yang melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.

Budi pekerti luhur juga menyangkut hubungan antar manusia sesuaii fungsinya sebagai makhluk sosial. Di tingkat unit sosial terkecil, keluarga, prinsip-prinsip budi pekerti luhur mempunyai wahana untuk diterapkan secara dini. Secara sederhana, budi pekerti luhur termanifestasi dalam perilaku :

  1. Menghormati orang yang lebih tua atau yang di”tua”kan; orang yang lebih berilmu, pemimpin negara/bangsa, dan menghormati atasan.
  2. Menghargai kawan seumur, teman sebaya, teman sekantor, dan teman dalam pergaulan; dan
  3. Menyayangi pihak yang lebih muda, adik kandung, anak buah, atau orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya.

Penerapan ketiga perilaku tersebut akan mencuatkan hubungan sosial yang terbuka dan penuh toleransi. Konflik-konflik sosial mengarah pada anarkhisme – yang seringkali dipicu oleh kecemburuan/kedengkian – dapat dihindari.

III. Sila Ketiga, Persatuan Indonesia.
Sila ini merupakan ikatan kebangsaan. Bagaimanapun sekumpulan manusia beriman dan berprilaku luhur tak akan berarti-guna secara sempurna dalam kehidupan jika bergerak sendiri-sendiri, tercerai-berai. Sebagaimana ungkapan orang bijak :”kebaikan akan mudah dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi rapi.” Oleh karena itu sekumpulan manusia beriman dan berprilaku luhur tersebut perlu diorganisasikan dalam bentuk perikatan. Di sinilah pentingnya persatuan. Tanpa persatuan nilai-nilai luhur kemanusiaan tak mudah dilaksanakan secara konkret.

Namun perlu dicatat, persatuan bukan berarti harus memberangus kebhinekaan – yang memang sudah menjadi ciri Bangsa Indonesia. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dicengkerem erat oleh Burung Garuda harus pula digenggam oleh setiap anak bangsa. Persatuan tidak harus dipahami sebagai keseragaman dan/atau memaksakan keseragaman dalam setiap hal. Persatuan juga tak bisa kokoh jika diikat oleh uang/kekayaan materi dan pemaksaan kekuasaan (seperti dalam masyarakat komunis).

Persatuan harus ditumbuhkan dan diikat dari dalam hati yang tulus. Terikat kuat karena tumbuh dari perasaan sesakit sependeritaan dan senasib sepenanggungan tanpa memperhatikan asal-usul, suku-ras, dan agama. Sebuah ikatan yang memandang bahwa setiap anak bangsa yang hidup di bumi Nusantara adalah saudara. Oleh karena itu, Suku Aceh, Nias, Sunda, Jawa, Bali, Dayak, Bugis, Sasak, Asmat, dan suku-suku lainnya yang mendiami Indonesia harus menyadari bahwa keberadaannya berasal dari satu rahim, yaitu rahim Ibu Pertiwi. Dikarenakan adanya pertalian saudara ini, apabila suku Aceh menangis maka seluruh bangsa akan menangis pula. Jika suku Asmat menderita maka seluruh bangsa juga turut merasakan penderitaan itu.

Persatuan seperti inilah yang bisa tegak-kokoh menghadapi segala bentuk benturan atau gangguan dari luar. Perjuangan bangsa memperebutkan kemerdekaan telah membuktikan bahwa persatuan bangsa adalah kekuatan yang maha dahsyat. Meskipun hanya didukung dengan persenjataan ala-kadarnya, tetapi karena ada persatuan, penjajah pun dapat disingkirkan. Sebaliknya, saat perjuangan berwatak kedaerahan, tak pernah bisa menyingkirkan penjajah – meski telah dilangsungkan selama berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, spirit Sumpah Pemuda harus tetap dirahayu-lestarikan sebagai modal membangun persatuan sejati, bukan persatuan semu atau palsu belaka. Persatuan yang lahir dan tumbuh dari kebhinekaan.

IV. Sila Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Sila ini merupakan alat atau cara untuk mewujudkan Visi Agung kebangsaan dan sering juga disebut sebagai sila demokrasi. Persatuan saja tidak cukup dalam menuntaskan masalah-masalah besar yang berkaitan dengan hidup berbangsa dan bernegara. Penuntasan masalah harus dilakukan melalui mekanisme musyawarah/permusyawaratan, yang membicarakan setiap kepentingan/masalah kebangsaan dengan duduk bersama.

Musyawarah merupakan satu-satunya media paling sah dan shahih untuk menyelesaikan permasalahan dan/atau silang-sengketa pendapat. Setiap permasalahan dan/atau silang-sengketa pendapat yang diselesaikan tanpa mekanisme musyawarah berpotensi menimbulkan konflik sosial yang bisa mengarah pada perpecahan bangsa. Di sinilah pentingnya musyawarah – sebagai media untuk mempertemukan aneka ragam pendapat guna menguji kebenaran.

Namun, untuk alasan kepraktisan, seluruh rakyat tidak bisa serta-merta ikut musyawarah. Suara/kepentingan rakyat disalurkan melalui lembaga-lembaga permusyawaratan yang disepakati bersama secara sah dan adil. Lembaga-lembaga permusyawaratan ini beranggotakan para perwakilan dari seluruh rakyat Indonesia yang dipilih melalui mekanisme pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Lembaga-lembaga permusyawaratan itu – menurut amandemen UUD 1945 – adalah DPR dan DPD ditingkat nasional, dan DPRD di tingkat daerah. Di tingkat desa – menurut UU No. 32/2004 – terdapat lembaga perwakilan yang bernama Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Selanjutnya, disebabkan spirit keberimanan dan watak budi pekerti luhur yang terbingkai dalam persatuan, maka musyawarah harus mempunyai tata-aturan atau prinsip-prinsip yang menunjukkan kualitas peserta musyawarah sebagai manusia beriman yang adil dan beradab serta bersatu. Setidak-tidaknya terdapat 8 prinsip yang harus dipegang dalam bermusyawarah, yaitu:

  1. Agenda yang dibicarakan dalam musyawarah/permusyawaratan tidak diperkenankan bertentangan atau bertolak belakang dengan “kebenaran-kebenaran universal” yang ada dalam setiap agama. Pembahasan tentang legalisasi minuman keras, prostitusi, korupai, dan perkawinan sejenis, misalnya, merupakan tema-tema yang bertentangan dengan nilai-nilai keberagamaan dan jauh dari kebenaran Tuhan.
  2. Setiap peserta musyawarah mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama dalam mengajukan pendapat, baik itu berupa usul, masukan maupun keberatan/ketidak-setujuan. Tidak ada hak kelompok tertentu – termasuk kelompok mayoritas – untuk membatasi kebebasan berpendapat. Setiap peserta musyawarah harus rela secara tulus mendengar, memahami dan menghargai pendapat orang lain, betapapun dia tidak setuju dengan pendapat itu. Singkatnya, kebebasan berpendapat adalah hak mutlak yang dimiliki oleh setiap peserta musyawarah.
  3. Penyampaian pendapat harus dilakukan dengan penuh ketulusan dan hormat terhadap peserta musyawarah yang lain. Tidak emosional, apalagi menyinggung perasaan peserta yang lain. Kemudian, saat harus bertentangan atau berbeda pendapat, penyampainnya pun harus penuh hormat dan respek dengan sesama peserta musyawarah. Hal ini tidak hanya masalah etika, tetapi untuk membangun suasana dialog yang sejuk dan rasional, sehingga musyawarah menghasilkan keputusan yang sebaik-baiknya dan lebih dekat pada kebenaran.
  4. Tidak diperkenankan dalam musyawarah menganggap bahwa pendapatnya adalah yang benar dan pendapat orang lain salah. Tak ada “kebenaran mutlaq” atau dalil-dalil mati yang tak bisa diubah dalam musyawarah. Setiap peserta musyawarah berpotensi mempunyai kebenaran dan juga kesalahan. Seperti kata Imam Abu Hanifah: “Pendapat kita benar tetapi masih mengandung kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi masih mengandung kemungkinan benar.” Kesadaran untuk rela mendengar atau mendapat kebenaran dari pihak lain dan mengakui kesalahan pendapat diri merupakan sarana bagi penghargaan terhadap kebhinekaan/keragaman.
  5. Di saat keputusan akhir musyawarah bertentangan dengan pendapat diri, maka keputusan itu harus diterima dengan lapang dada, tak perlu ada usaha penghasutan atau pemboikotan hasil musyawarah, yang bisa memcah-belah peserta musyawarah. Karena boleh jadi jika pendapatnya yang diakomodasi sebagai keputusan musyawarah akan banyak membawa kemudharatan daripada kemanfaatan. Sebaliknya, jika keputusan musyawarah mengkomodasi pendapat diri, tak perlu ada perasaan bangga. Hal ini perlu disadari karena boleh jadi keputusan itu cenderung membawa banyak kemudharatan daripada kemanfaatan.
  6. Keputusan musyawarah adalah perjanjian tertinggi yang berkekuatan tetap dan final bagi peserta musyawarah. Oleh karena itu tidak diperkenankan melaksanakan tindakan yang menyalahi keputusan musyawarah. Dalam praktek di lapangan, jika di sadari bahwa keputusan musyawarah tersebut mengandung banyak kemudharatan, maka harus dibicarakan dalam musyawarah berikutnya dengan peserta yang sama – atau setidak-tidaknya mendekati sama.
  7. Pemimpin musyawarah berfungsi sebagai penengah/wasit sekaligus “pengetok palu” keputusan musyawarah. Oleh karena itu, pemimpin musyawarah haruslah orang yang cakap, bijak, visioner dan sudi mendengar setiap pendapat peserta musyawarah secara sungguh-sungguh. Pemimpin musyawarah tidak diperkenankan tergesa-gesa mengetok palu keputusan, apalagi hanya memihak pada kelompok tertentu dari peserta musyawarah.
  8. Keputusan akhir musyawarah harus berpijak pada hikmat-kebijaksanaan. Hikmat – berasal dari Bahasa Arab : kearifan/arif – dan bijaksana mengandung pengertian bahwa keputusan harus mempertimbangkan kebenaran dan kepentingan yang lebih luas, kepentingan masyarakat umum. Bukan sekedar kepentingan peserta musyawarah itu sendiri. Hal ini penting karena keputusan akhir musyawarah itulah yang akan menjadi pegangan rakyat, yang memimpin rakyat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Keputusan yang tidak berdasar pada hikmat-kebijaksanaan akan membuat rakyat sengsara dan terbebani.

Kedelapan prinsip ini merupakan pegangan umum yang harus termanifestasikan secara simultan dalam permusyarawaratan. Lebih dari itu, para peserta musyawarah harus benar-benar menyadari bahwa mereka duduk sebagai wakil rakyat atau merepresentasikan kepentingan rakyat banyak. Adalah tidak beralasan jika amanah rakyat yang telah dimandatkan itu dikhianati dengan tindakan-tindakan yang justru merugikan rakyat. Kedudukan sebagai wakil rakyat mempunyai konskuensi dan tanggung-jawab yang besar, yakni secara tulus dan sungguh-sungguh harus memperjuangkan kepentingan rakyat banyak lebih dari apapun. Bahkan – kalau perlu – kepentingan pribadi harus dinomor-duakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah menjadi wakil rakyat.

V. Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sila inilah yang menjadi Visi Agung kebangsaan. Tak ada artinya sebuah bangsa berdiri/didirikan tanpa tujuan. Dan, tujuan berdirinya bangsa Indonesia adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Visi Agung ini sekaligus menjadi tujuan musyawarah/permusyawaratan yang dilakukan oleh sekumpulan orang beriman dan berbudi luhur, yang terikat dalam persatuan.

Keadilan sosial mempunyai makna dan implikasi yang sangat luas. Hal ini terkait pada fungsi manusia sebagai makhluk sosial, yang diharuskan merajut interaksi-interaksi sosial dengan manusia lainnya, berdasar motif-motif tertentu yang meliputinya. Interaksi antar individu yang didasarkan atas motif untuk memenuhi/mendapatkan penghidupan yang layak akan menghasilkan hubungan sosial yang berwatak ekonomis. Interaksi antar individu yang didasarkan atas motif untuk menumbuh-kembangkan kecerdasan akan menghasilkan interaksi sosial di bidang pendidikan. Interaksi antar individu yang didasarkan untuk meraih dan/atau mempertahankan kekuasaan menghasilkan hubungan sosial di lapangan politik. Interaksi antar individu yang didasarkan atas motif menjaga keteraturan dan ketertiban masyarakat akan menghasilkan hubungan sosial yang berkaitan pada penegakan hukum. Dan, interaksi antar individu yang bermotif menumbuhkembangkan kehidupan seni, budaya dan sosial menghasilkan hubungan sosial dalam bingkai sosial-budaya.

Oleh karena itu, keadilan sosial berarti juga mencakup didalamnya keadilan di bidang ekonomi, pendidikan, hukum, politik, dan keadilan dalam kehidupan sosial-budaya. Keadilan ini harus dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Tak boleh ada satupun rakyat Indonesia yang tidak merasakan keadilan sosial, atau dalam bahasa lain, merupakan pengkhianatan terhadap tujuan berbangsa dan bernegara jika ada rakyat Indonesia yang masih diberlakukan tidak adil – meski dia hanya seorang anak kecil sekalipun. Keadilan – seperti yang termaknai dalam sila ke-2 di atas – harus benar-benar merata terasa oleh setiap orang yang tinggal dan mencari penghidupan di Indonesia.

KEMANUNGGALAN SILA-SILA PANCASILA
Kelima sila dia atas, meskipun dijabarkan secara runtun seperti terlihat dalam diagram 3, sejatinya berwatak terpadu/manunggal satu sama lainnya. Seluruh sila bersifat menyatu dengan fokus/episentrum-nya terletak pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ini menjiwai keempat sila lainnya, yang sekaligus menjadi jiwa bangsa Indonesia. Dalam lambang negara, sila ini terletak di tengah-tengah dengan menggunakan simbol bintang segi lima. Bintang merupakan benda langit yang bercahaya, dan sumber cahaya itu berasal dari dirinya sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan Bulan yang cahayanya merupakan pantulan dari matahari8. Simbol bintang – yang berada di tengah ini – berarti bahwa Tuhan Yang Maha Esa menjadi cahaya, penerang dan pemberi petunjuk bagi sila-sila lainnya, yang menyebar secara merata.

Sementara sila kedua merupakan konskuensi logis dari penyerapan cahaya Tuhan bagi watak/kepribadian manusia Indonesia, yaitu: kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila ini berada di kanan atas Garuda Pancasila dengan silmbol pohon yang berakar kuat menembus ke tanah dan berdaun rimbun9. Akar yang merambat kuat menembus tanah menyimbolkan bahwa keimananan manusia Indonesia sungguh kuat mengakar di dalam hati. Tak ada siapapun dan/atau apapun yang sanggup menggoyahkan iman itu. Iman yang kuat ini, menghasilkan pohon yang rimbun dan selalu berdaun hijau (evergreen). Kerimbunan menyimbolkan bahwa siapa saja yang berada dibawahnya akan merasa nyaman, aman, sejuk, dan.segar. Hal ini menyiratkan bahwa watak kemanusiaan yang adil dan beradab merupakan “pohon rimbun” yang bisa dijadikan tempat berteduh bagi siapa saja, tidak pandang bulu. Sementara itu, dedaunan yang selalu berwarna hijau merupakan tamsil bahwa pengayoman/keteduhan yang diberikan oleh manusia yang adil dan beradab bersifat kekal-abadi dan tulus. Pengayoman/keteduhan yang terus-menerus diberikan kepada siapa saja sepanjang usia/sepanjang masa tanpa pamrih kecuali untuk mewujudkan kedamaian hidup dan kehidupan.

Sila ketiga merupakan pengikat bangsa, yang disimbolkan dengan rantai. Rantai mempunyai bagian-bagian kecil yang saling berikatan dan merupakan poros utama kekuatan. Meskipun terikat dalam satu kesatuan yang bernama “rantai” namun watak/ciri bagian-bagian kecil itu masih tampak nyata. Hal inilah yang menjadi cita-cita Persatuan Indonesia. Persatuan yang menjadikan kebhinekaan sebagai poros kekuatan utamanya. Kebhinekaan itulah yang menjadikan persatuan tidak hanya kuat tetapi juga indah. Sebagaimana persatuan yang didemonstrasikan oleh pelangi. Dan, pengikat persatuan yang ber-kebhineka-an itu adalah keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang termanifestasi dalam kepribadian manusia yang adil dan beradab.

Sila keempat merupakan alat kebangsaan untuk memecahkan setiap permasalahan rakyat, disimbolkan dengan kepala banteng. Kepala menyimbolkan pemikiran/olah pikir sedangkan banteng menyimbolkan kekuatan dan keberanian. Banteng merupakan binatang yang kuat (dan juga berani), bahkan sanggup menghadapi kelaliman raja hutan sekalipun. Makna dari kepala banteng adalah bahwa pemikiran/olah pikir yang dihasilkan secara bersama-sama melalui mekanisme musyawarah mempunyai kedudukan yang lebih kuat dibanding pemikiran/olah pikir pribadi. Artinya, kekuatan pemikiran/olah pikir tergantung dari seberapa banyak kebhinekaan pandangan yang dapat disatukan dan menjadi gerak bersama. Lebih dari itu, tindakan kolektif yang diturunkan dari pemikiran bersama (musyawarah) lebih kuat dan mempunyai nilai lebih dibandingkan tindakan kolektif tanpa musyawarah, apalagi jika dibandingkan dengan tindakan personal. Dan, orang yang bertindak berasas pada hasil pemikiran bersama akan berani bertanggungjawab atas tindakan yang dilakukannya. Hal ini tentu berbeda dengan orang yang bertindak tanpa azas pemikiran bersama. Tindakannya akan senantiasa dipenuhi dengan keragu-raguan.

Sila kelima merupakan the Great Vision kebangsaan, yang disimbolkan dengan padi dan kapas. Padi dan kapas mengisyaratkan tercukupinya kesejahteraan rakyat indonesia di segala bidang. Padi merupakan bahan dasar dari beras – makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia – yang menyimbolkan tercukupinya kebutuhan primer secara layak, misalnya : kebutuhan sembako, sandang dan rumah. Sedangkan kapas merupakan bahan dasar alami dari pakaian, yang menyimbolkan tercukupinya kebutuhan sekunder rakyat Indonesia untuk mengangkat harkat-martabat kemanusiaannya, misalnya: Pendidikan, Kesehatan, kesempatan dan kebebasan bekerja/berkarya, dan pemenuhan hak azasi manusianya.

MUSYAWARAH, PRINSIP DASAR DEMOKRASI PANCASILA
Sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 paragraf ke-4, yang menegas-tandaskan bahwa kelima sila – seperti yang telah kita urai-jabarkan di atas – merupakan dasar/azas dari pembuatan Undang-Undang Dasar. Artinya, pembuatan Undang-Undang Dasar – sebagai cetak-biru (blue-print) hukum dan perundang-undangan di Indonesia – harus bersumber dari Pancasila. Tidak pada tempatnya isi dari Undang-Undang Dasar itu mengambil dari nilai-nilai asing yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Demikian halnya dalam menjalankan demokrasi, seyogyanya para aktor yang bermain di dalamnya menjadikan Pancasila sebagai azas dasar, yang menuntun dan mengarahkan mekanisme demokrasi. Demokrasi berciri keindonesiaan harus dihadirkan sesuai dengan nilai-nilai kepancasilaan, yang berwatak religius, ramah, santun, dan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan seta kebersamaan. Demokrasi yang tidak memihak pada “suara mayoritas” – karena tak selamanya yang mayoritas itu benar dan yang minoritas itu salah – tetapi demokrasi yang memihak pada “suara bersama,” yang dihasilkan melalui mekanisme musyawarah/permusyawaratan berazas perwakilan. Musyawarah dilangsungkan tidak hanya secara face to face tetapi juga heart to heart, yang jauh dari watak mengutamakan kepentingan ego-pribadi daripada kepentingan rakyat dan bangsa. Inilah musyawarah yang akan bermuara pada keputusan/hasil yang penuh hikmat-kebijaksanaan, dan lebih dekat pada kebenaran.

Seperti jamak kita ketahui, musyawarah merupakan prilaku yang bersifat indigenous bagi penduduk Nusantara. Prilaku ini sudah dikenal dan dterapkan oleh etnis-etnis suku-bangsa yang mendiami Nusantara ini jauh di masa lampau, bahkan sebelum sistem demokrasi mulai dikenal dan diperbincangkan banyak orang. Dalam setiap penyelesaian masalah kemasyarakatan, penduduk Nusantara sudah terbiasa untuk membicarakannya secara bersama-sama melalui media musyawarah yang dipimpin oleh tetua adat atau tokoh yang dianggap berpengaruh.

Oleh karena itu, sudah selayaknya musyawarah dijadikan prinsip pokok dalam kehidupan berdemokrasi yang berciri keindonesiaan. Hal ini untuk membedakan dengan demokrasi yang berkembang atau dikembangkan di negara lain, terutama Barat, yang berciri pemihakan pada “suara mayoritas."

PASCA-WACANA
Dari uraian di atas, terdapat satu benang merah yang harus menjadi pemikiran bersama – khususnya oleh anak-anak bangsa yang merasa prihatin dengan kondisi bangsa – yaitu adanya kesenjangan cita-cita demokrasi yang telah digali dan digagas oleh para founding father dengan kondisi realitas kehidupan demokrasi Indonesia dewasa ini. Cita-cita demokrasi yang ideal dan anggun – sebagaimana tertuang dalam Pancasila – bertolak belakang dengan kondisi riil demokrasi kekinian yang penuh dengan pertentangan kepentingan ego/kelompok dan carut-marut sosial. Padahal, Pancasila menghendaki agar demokrasi – melalui mekanisme musyawarah – diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kesenjangan ini menunjukkan bahwa Pancasila belum mendarah-daging menjadi pondasi dasar jiwa kebangsaan. Masyarakat Indonesia, entah itu rakyat alit maupun kaum elit, telah tercerabut dari nilai-nilai keindonesiaan, telah kehilangan ruh kepancasilaan. Masyarakat Indonesia dewasa ini merasa enjoyable dengan nilai-nilai asing yang sesungguhnya bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan, terutama dalam tulisan ini berkaitan dengan perilaku berdemokrasi.

Orde Baru – dengan perilakunya yang korup, kolutif, dan nepotis – mempunyai tanggungjawab besar dalam menanamkan nilai-nilai yang bertentangan dengan jiwa keindonesiaan. Oleh karena itu, reformasi tidak cukup berhenti hanya dengan merobohkan simbol-simbol Orde Baru, tetapi harus lebih jauh dari itu, yakni meruntuhkan nilai-nilai Orde Baru yang jauh dari watak keindonesiaan tersebut. Oleh karena itu, gerakan reformasi harus dilanjutkan dengan melakukan pembaharuan/penyegaran mentalitas dan mind-set aktor-aktor pelaksana demokrasi yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Betapapun demokrasi di Indonesia berganti baju berulang-kali tetapi mentalitas dan mind-set aktor-aktor demokrasi tidak berubah – tetap berwatak menyimpang dari nilai luhur Pancasila, maka pembaharuan yang terjadi hanya bersifat semu – tidak menyentuh substansi permasalahan.

Oleh karena itu, sebagai langkah awal jangka pendek, orang-orang muda yang religius, bersih (berakhlak-mulia), berpikiran segar dan visioner, mempunyai kecakapan, dan yang paling penting mau bekerja keras harus dimunculkan menjadi new comer permainan demokrasi di Indonesia. Perlu digagas sebuah gerakan untuk mengorganisasikan kekuatan kaum muda ini. Hal ini penulis anggap tidak berlebihan karena Indonesia telah membuktikan bahwa orang-orang muda selalu mempunyai peran sentral dalam setiap terjadinya pembaharuan progresif.bangsa. Sulit bagi kita – bangsa Indonesia – mengharap pembaharuan progresif dari orang-orang tua yang pro status quo.

PUSTAKA

  1. Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, dalam Panji Masyarakat, Th. Ke-2, No. 22 (5 Dzulhijjah 1379/1 Mei 1960).
  2. Madjid, Nurcholish, Pelaksanaan Pancasila dan Demokrasi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional, dalam Nurcholish Madjid, Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, PARAMADINA, Jakarta, 1997.
  3. Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965), Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
  4. Tsung dan Vaylsteke “Taiwan’s Democratization Part of the World Trend”, dalam The Jakarta Post, 9 dan 10 Juni 1989
  5. Waltzer, Herbert, Political Democracy, dalam Reo M Christenson, et.al, Ideologies and Modern Politics, Dodd, Mead & Company, 1975.

Sabtu, Agustus 08, 2009

MOSLEM

A Moslem as moonlight in the midnight
Give to dark of night his light
Give to dark of life his light

Dark become light
Night become bright
Wrong become right

He is both beautiful sight and excellent insight
He is hope in civilization twilight
To bring people toward future of bright.

Haris El Mahdi

MY SOULMATE IS LOVE

My mother is love
My prophet is love
I’ am a child of love

My father is love
My god is love
I have come only to speak of love

In the name of love
I have a dream to change the world
Touch all of the people hearts with respect and peaceful

In the name of love
I have a dream to heal the world
Free from violence and un-humanity

We are slaves to a love………!


PENA: Haris El Mahdi

Jumat, Juli 03, 2009

AGAMA DAN MASYARAKAT

Haris El Mahdi
WACANA AGAMA DALAM SOSIOLOGI
Emile Durkheim, sosiolog asal Perancis, mendefinisikan agama sebagai (Turner, 1984 : 18) :

“Suatu sistem terpadu tentang kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek khusus terhadap benda-benda suci, atau dengan kata lain, hal-hal yang tersendiri dan terlarang. Kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek tersebut menyatu ke dalam suatu komunitas moral yang dinamakan Gereja, yang mana semua orang tunduk kepadanya.”

Dari pandangan Durkheim di atas, terdapat dua hal yang menjadi watak khas dari agama, yaitu : (1) adanya kepercayaan yang kuat terhadap benda-benda suci, atau sesuatu yang disucikan, dan (2) adanya parktek-praktek khusus (baca : ritual keagamaan) terhadap benda-benda suci atau sesuatu yang disucikan tersebut. Dua hal ini, menyatu terpadu dalam sebuah tatanan komunitas moral (Gereja).

Sementara itu, dengan tetap berpijak pada pola berfikir Durkheim, Koentjaraningrat (1994 : 144 – 145) mengemukakan bahwa tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu :

  1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia bersikap religius;
  2. Sitem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari aam ghaib (Super-natural), serta segaa nilai, norma dan ajaran religi yang bersangkutan;
  3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan suatu usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk yang mendiami alam ghaib;
  4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut daam poin 2, danyang meaksanakan sistem ritus dan upacara, sebagaimana tersebut dalam poin .

Keempat komponen tersebut terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat-terpadu.

Pemaknaan tentang agama serta komponen-komponen yang melingkupinya, seperti tertuang dalam penjelasan di atas, memberi kita pemahaman bahwa agama (atau religi) merupakan sebuah fenomena religius atau bahkan fakta sosial di masyarakat. Masyarakat apapun dan dimanapun, dalam sejarah kehidupannya pasti mengenal ajaran-ajaran agama.

Hal ini ditegaskan oleh Talcott Parsons yang menjelaskan bahwa signifikansi utama karya Durkheim tentang agama primitif adalah pengakuannya bukan bahwa “agama merupakan fenomena sosial” tetapi bahwa “masyarakat adalah fenomena religius” (Hammond, 2003 : 209). Namun demikian, fungsi dan peranan agama di masyarakat tidak selalu bermakna positif. Kutipan berikut dapat memberi penjelasan mengenai tidak positifnya peran dan fungsi agama di masyarakat (Lauer,1989: 254) :

“…..Selama abad pertengahan, kalangan pendeta menggunakan ideologi keagamaan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan lebih besar dan karena itu menghalangi terjadinya perubahan. Kemajuan ekonomi diperlambat dengan menyatakan membungakan uang sebagai perbuatan riba yang penuh dengan dosa. Surplus kekayaan cenderung disalurkan untuk membeli barang-barang perhiasan, aktivitas sopan santun, membangun bangunan keagamaan dan istana. Dengan kata lain, surplus kekayaan tidak ditanamkan dalam usahan perdagangan dan industri melainkan tersedot ke dalam aktivitas keagamaan yang tidak produktif yang diyakini akan menimbulkan kasih sayang Tuhan. Akibatnya, sekitar penghujung abad pertengahan, tekhnik penyediaan air minum dan sanitasi (yang telah dibangun orang Romawi jauh sebelumnya) masih belum digunakan. Kota-kota dipadati oleh bangunan keagamaan yang sering boros, kotor, jalan raya tanpa perencanaan dan struktur bangunan yang sembrono….."

Masalah ini pula yang disinggung oleh Veblen (1953 :201) dalam kritiknya tentang agama dengan menyatakan bahwa seluruh perangkat dan aktivitas yang berkaitan dengan agama pada dasarnya adalah pemborosan yang sangat mencolok. Lebih lanjut Veblen menegaskan, “konsumsi barang dan upaya untuk melayani kepentingan yang bersifat Ketuhanan berarti mengurangi vitalitas komunitas.” Hal inilah yang menyebabkan agama menjadi sesuatu yang dianggap tak dapat menuntaskan permasalahan-permasalahan kemanusiaan/masalah duniawi. Situai agama yang terlampau “mengawang” inilah yang dilukiskan oleh Karl Marx dan Engels (1977 : 42) dalam artikelnya, sebagai berikut : "

"Religion is the sign of oppressed creature, the heart of heartless world, just as it is spirit of spiritless situation. It is the opium of the people.”

Pandangan Marx dan Engels di atas, dipertegas oleh A.N. Wilson dalam sebuah buku tukisannya berjudul : Against Religion : Why We Should Try to Live Without It ? sebagai berikut (Rahman, 1995 : XXV) sebagai berikut :

“Marx menggambarkan agama sebagai candu rakyat; tetapi agama,” kata Wilson, jauh berbahaya daripada candu. Agama tidak membuat orang tertidur. Agama mendorong orang untuk menganiaya sesamanya, untuk mengungkapkan perasaan dan pendapat mereka sendiri atas pendapat dan perasaan orang lain, untuk mengklaim bagi diri mereka sendiri sebagai pemilik kebenaran.”

Namun demikian, adanya beberapa kritikan yang tajam terhadap eksistensi agama sebagaimana dikutip dalam tulisan di atas, bukan berarti bahwa agama tidak mempunyai peran positif sama sekali dalam kehidupan bermasyarakat. Analisis Webber dalam buku The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, agaknya merupakan suatu usaha ilmiah untuk menjelaskan pengaruh positif agama (Protestant Calvinis) terhadap tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai positif dari kapitalisme.

Fakta lain yang menunjukkan bahwa agama mempunyai peran dan fungsi yang positif dalam tata kehidupan msyarakat adalah pengaruh agama Islam terhadap perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Eropa Barat di abad Pertengahan. Masyarakat Eropa Barat yang masih barbarian saat itu, banyak belajar kepada orang Islam yang dianggap sebagai golongan yang mempunyai tingkat peradaban tinggi. Secara jelas, hal ini disimpulkan oleh Montgomery Watt (1972 : 84) sebagai berikut :

“When one keeps hold of all the facets of the medieval confrontation of Christianity and Islam, it is clear that the influence of Islam on western Christendom is greater than is usually realized. Not merely did Islam share with western Europe many material product and technological discoveries; not merely did it stimulate Europe intellectually in the fields of science and philoshopy; but it provoken Europe into forming a new image of itself. Because Europe was reacting against Islam it belittled the influence of Saracens and exaggerated its dependence on its Greek and Roman heritage. So today an important task for us Western Europeans, as we move into the era of the one world is the correct this false emphasis and to acknowledge fully our debt to the Arab and Islamic world.”

Singkatnya, setiap agama mempunyai kesempatan untuk menampilkan citra yang positif atau negatif dalam realitas kehidupan bermasyarakat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kualitas pemahaman masing-masing pemeluk agama dalam menyerap pesan-pesan spiritual dari ajaran agama yang dia anut. Pernyataan ini perlu digaris-bawahi karena setiap agama pasti menghendaki sebuah tata sosial kemasyarakatan yang teratur, baik dan beradab.

Lebih lanjut – seperti yang telah disinggung di atas – eksistensi agama merupakan sebuah fakta sosial yang keberadaannya tak bisa dipisahkan dari masyarakat dengan cara apapun. Setiap usaha untuk menjauhkan masyarakat dari diskursus tentang agama pasti akan menimbulkan pertentangan atau konflik sosial. Langkah bijak secara ilmiah adalah dengan menganalisis agama dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat; baik pola hubungan antar intern pemeluk agama yang bersangkutan maupun hubungan antar pemeluk agama dan agama dalam kaitannya dengan konsep-konsep ketuhanan. Bertitik-tolak dari pemahaman tentang doktrin keagamaan secara obyektif, kita dapat menganalisis secara lebih utuh tentang berbagai bentuk prilaku-prilaku sosial para penganut sebuah ajaran keagamaan.

AGAMA SEBAGAI PRODUK KEBUDAYAAN TIMUR
Adalah sebuah fakta historis bahwa seluruh agama-agama besar dunia; lahir, tumbuh dan berkembang dari rahim peradaban Timur (atau lebih tepatnya Asia). Terdapat dua titik sentral peradaban timur yang banyak melahirkan agama (besar) tersebut, yaitu : 1) Timur-Tengah (dan Asia Selatan) yang melahirkan agama : Yahudi, Nasrani, Islam, Hindu dan Budha, dan 2) Timur-Jauh yang melahirkan agama : Tao(isme), Kong Hu Cu (Konfusianism), dan Shinto. Dari titik-titik sentral inilah agama lahir dan tumbuh menjadi bagian dari sejarah umat manusia.

Kenyataan historis tersebut menandaskan bahwa agama dan kebudayaan Timur adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan satu sama lainnya, ibarat dua sisi koin mata uang. Kebudayaan Timur telah sedemikian rupa menghasilkan agama dan sebaliknya agama telah menjadi urat-nadi kehidupan kebudayaan Timur. Dalam bahasa lain, eksistensi kebudayaan Timur (baca : Asia) tak bisa dilepaskan dari kehidupan religius. Hal inilah yang sekaligus menjadi argumentasi bahwa pertentangan terhadap agama tidak lahir dari Asia melainkan dari Eropa – melalui jargon renaissance dan humanismenya.

Fakta historis lain menunjukkan bahwa wilayah Timur-Tengah dan Timur-Jauh merupakan titik-titik sentral lahirnya peradaban-peradaban agung dan tertua dunia. Di Timur-Tengah lahir peradaban : Mesir, Babylonia, Sumeria, Mohenjao Daro dan Harrapa, sedangkan dari wilayah Timur-Jauh lahir sebuah peradaban yang menembus berbagai rentang abad, yaitu peradaban Cina. Peradaban-peradaban tersebut di masanya telah menghasilkan kebudayaan yang agung dengan bertumpu pada agama, ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Fakta historis ini sekaligus menunjukkan bahwa Timur (Asia) mempunyai usia kesejarahan yang lebih panjang dibanding Barat (Eropa). Oleh karena itu wajar bahwa nation-state yang terbentuk di wilayah Asia mempunyai akar-akar historis yang sangat kuat dibanding nation-state yang terbentuk di wilayah Barat.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa Timur (Asia) merupakan wilayah geografis yang sangat eksotis, mistik, spiritualism, dan natural. Pondasi utama setiap kebudayaan yang lahir dari Timur pasti bernuansakan eksotisme, mistis, dan spiritualism. Dalam bahasa lain, agama mempunyai pengaruh yang luar biasa menumbuh-kembangkan kebudayaan di wilayah Timur.

BACK TO EAST, BACK TO SPIRITUALITY
Eksistensi agama – setelah melewati rentang sejarah – ternyata tidak pernah pudar. Di era post-industrial saat ini, kerinduan manusia untuk kembali menengok ajaran-ajaran keagamaan sangat tampak terasa. Jargon yang berbunyi : BACK TO EAST atau BACK TO NATURE sebenarnya membawa pesan eksplisit bahwa manusia rindu untuk kembali kepada agama atau spritualitas. Menurut Sorokin, kerinduan ini merupakan fase alamiah dalam perjalanan kesejarahan manusia. Ungkapan paling terasa mengenai hal ini dapat disimak dalam pernyataan E.F. Schumacher dalam buku A Guide For Thr Perplexed, sebagai berikut (Hidayat & Nafis: 1995, xvii) :

“Mungkin saja dapat dibayangkan hidup tanpa gereja; tapi mustahil hidup tanpa agama, yaitu tanpa kerja sistematis, memelihara hubungan dengan dan berkembang ke arah Tingkat-Tingkat yang Lebih Tinggi ketimbang tingkat “kehidupan sehari-hari”, dengan segala kesenangan dan kepahitannya, sensasi dan kepuasannya, kehalusan dan kekasarannya – apapun jua adanya. Percobaan modern untuk hidup tanpa agama telah gagal, dan sekali lagi kita memahami hal ini, kita pun lalu tahu apa sesungguhnya tugas “pasca-modern” kita.”

Schumacher benar bahwa eksperimen modern (baca : Barat) untuk menata kehidupan dengan meninggalkan agama telah mengalami kegagagalan. Kegagalan Barat ini direkam secara provokatif oleh Fritjof Capra (2000 : 3) sebagai berikut :

“Pada awal dua dasawarsa terakhir abad kedua puluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyntuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, tekhnologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertamakalinya kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini.”

Krisis global, kompleks dan multidimensional inilah yang makin menyadarkan manusia modern adanya sebab-sebab yang bersifat transedental, sebab-sebab cara pandang manusia terhadap alam ini. Dunia dan kehidupan modern ternyata telah kehilangan horizon spiritual.

Modernisme telah membawa manusia untuk menuhankan ilmu-pengetahuan dan tekhnologi, melupakan agama dan the real I-nya. Akibatnya, manusia modern menjadi sibuk memuja materi (materialism) dan melupakan esensi sangkan-paran kehidupannya. Secara spesifik, manusia modern tak bisa secara tepat mendefinisikan tentang Who Am I ?, siapa saya ? siapa manusia ? apa tujuan manusia hidup ? dan sederet pertanyaan-pertanyaan filosofis lainnya, yang meskipun sederhana ternyata tidak ditemukan jawaban yang memuaskan. Max Scheeler, filsuf Jerman abad 20 menguraikannya sebagai berikut (Rahman, 1995 : xviii) :

“Tak ada periode lain dalam pengetahuan manusiawi, di mana manusia semakin problematis bagi dirinya sendiri, seperti pada peride kita ini. Kita punya antropologi ilmiah, antropologi filosofis, antropologi teologis yang tak saling mengenal satu sama lain. Tapi kita tak mempunyai gambaran yang jelas dan konsisten tentang manusia. Semakin bertumbuh dan banyaknya ilmu-ilmu khusus yang terjun mempelajari manusia, tidak menjernihkan konsepsi kita tentang manusia malah sebaliknya semakin membingungkan dan mengaburkannya.”

Manusia modern – selama berabad-abad – berada di pinggiran eksistensi dirinya. Filsafat Cartesian yang menjadi “inspirasi” peradaban Barat telah membawa manusia menjauh dari kefithrahan dan ketentraman hidup.

Tingginya tingkat kriminalitas, perceraian, polusi; bahaya perang nuklir dan biokimia, pencemaran limbah industri, rusaknya lingkungan alam, epidemi penyakit, hancurnya moralitas, korupsi, pengangguran, kemiskinan dan hilangnya nilai-nilai luhur kemanusiaan merupakan fakta-fakta konkret menjauhnya manusia dari kehidupan yang tentram-damai. Sederet permasalahan modernitas inilah yang menjadikan hati manusia modern gersang, kering, dan gelisah. Hal inilah yang mendorong semakin banyaknya manusia modern lari kepelukan aktivitas spiritualitas. Yoga, studi-studi tasawuf, olah pernafasan, kelompok-kelompok pengajian keagamaan, dan bahkan sekte-sekte spiritualitas (seperti : Sekte Rumah David dan Sekte Lia Eden) menjadi pilihan alternatif untuk menemukan kembali ketentraman hati dan kedamaian hidup.

MASYARAKAT SEBAGAI FENOMENA RELIGIUS
Di atas, penulis telah mendiskusikan bahwa betapapun modernitas – selama berabad-abad – telah berusaha membawa manusia meninggalkan agama, namun di penghujung akhir abad 20 terdapat sebuah kesadaran kolektif umat manusia bahwa tak mungkin hidup tanpa agama. Tak mungkin hidup tanpa sosok individu yang harus disembah dan dijadikan sumber pengharapan (sekaligus inspirasi). Konsepsi tentang Tuhan (God, Ilah) muncul dan berkembang dalam konteks kebutuhan naluriah manusia untuk menggantungkan hidup pada Individu “supra-inderawi” – meminjam istilah Arnold Toynbee – Individu yang berada di luar jangkuan manusia, absolut, dan mempunyai segala ke-Maha-annya.

Tuhan hadir dan dibutuhkan manusia untuk menentramkan hatinya (soul-nya). Modernisme mengklaim bahwa selama manusia bisa mencukupi dan menyelesaikan masalah hidupnya ia tak butuh lagi Tuhan. Tekhnologi diciptakan untuk menggantikan peran Tuhan dalam menentramkan hati manusia. Tetapi, ternyata klaim modernisme tersebut tidak terbukti benar. Fakta kekinian menunjukkan bahwa betatapapun ilmu-pengetahuan dan tekhnologi telah mengalami kemajuan yang luar-biasa dahsyatnya, namun permasalahan manusia juga mengalami kemajuan yang luar-biasa kompleksnya. Para ilmuwan – seberapapun pandainya – tak sanggup lagi menuntaskan permasalahan kompleks ini, meskipun mereka saling bekerja-sama. Capra (2000 : 9), secara cerdas mengungkapkannya sebagai berikut :

“Adalah suatu tanda zaman yang mengejutkan bahwa orang-orang yang seharusnya ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang telah muncul di dalam bidang keahlian mereka. Ekonom tidak mampu memahami inflasi, onkolog sama sekali bingung tentang penyebab kanker, psikiater dikacaukan oleh schizofrenia, polisi tak berdaya menghadapi kejahatan yang meningkat, dan lain sebagainya.”

Akhirnya, seperti telah diungkap oleh Talcott Parsons bahwa masyarakat sejatinya adalah sebuah fenomena religius. Kereligiusitasan ini terungkap dari fakta bahwa masyarakat selalu berusaha untuk memuja hal-hal yang luar-biasa, seperti : alam (matahari, laut, api, gunung, dst), tokoh-tokoh spiritual kharismatik, tekhnologi atau Individu “Supra-Inderawi” yang diidentikkan dengan nama Tuhan. Dan, kekacauan besar – atau The Great Disruption menurut istilah Francis Fukuyama – modernisme mendorong manusia untuk mencari The Real God. Tuhan Sejati yang layak untuk disembah dan sekaligus merindukan The Real Religion, agama sejati yang menjadi aturan hidup.

DAFTAR PUSTAKA

Capra, Fritjof, Titik Balik Peradaban ( Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan), edisi terjemahan, Bentang Budaya, Jogjakarta, 2000

Hammond, Phillip E, Pluralisme dan Hukum dalam Pembentukan Agama Sipil Amerika, dalam Robert N Bellah, et. al, Varieties of Civil Religion, Beragam Bentuk Agama Sipil dalam Beragam Bentuk Kekuasaan Politik, Kultural, Ekonomi, dan Sosial, Ircisod, Jogjakarta, 2003

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Bunga Rampai), PT. Gramedia, Jakarta, 1994

Lauer, Robert. H, Prespektif Tentang Perubahan Sosial, Bina Aksara, Jakarta, 1989

Marx, Karl, dan F. Engels, On Religion, Schocken Books, New York, 1977

Rahman, Budhy Munawar, Kata Pengantar dalam Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Prespektif Filsafat Perennial, PARAMADINA, Jakarta, 1995

Smith, Donald Eugene, Agama dan Modernisasi Politik (Suatu Kajian Analitis), CV. Rajawali Press, Jakarta, 1985

Turner, Bryant, Sosiologi Islam, Suatu Telaah Analitis atas Thesa Sosiologi Webber, CV. Rajawali, Jakarta, 1984

Veblen, Thorstein, The Theory of the Leisure Class, Mentor Books, New York, 1953

Veeger, K.J, Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1985

Watt, Montgomery, The Influence of Islam on Mediaveal Europe, Edinburg University Press, Edinburg, 1972