Selasa, November 24, 2009

CULTIC RELIGION DAN BUNUH DIRI

Haris El Mahdi

PROLOG
Akhir-akhir ini pemberitaan media-massa tentang kasus-kasus bunuh diri begitu masif diperbincangkan. Mulai bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, bunuh diri para remaja, bunuh diri orang dewasa, bunuh diri masal dan sampai kasus-kasus bom bunuh diri yang sering diidentikkan dengan kaum teroris.

Tulisan ini lebih melihat bunuh diri dalam kelompok sosial yang mempunyai integrasi sosial tinggi dan solidaritas sosial berbentuk mekanis. Kelompok sosial yang dipilih adalah CULTIC RELIGION yang akhir-akhir ini banyak menjamur d Indonesia.

DHURKHEIM TENTANG BUNUH DIRI
Penelitian paling klasik mengenai integrasi sosial – yang mana didalamnya unsur interaksi sosial adalah sesuatu yang dominan – tertuang dalam sebuah seri monografi berjudul Suicide tulisan Emile Durkheim, seorang sosiolog terkemuka berkebangsaan Perancis. Menurut Durkheim, dalam penelitiannya dia menyimpulkan bahwa angka bunuh diri egoistic akan berubah secara berlawanan dengan gejala integrasi sosial. Tegasnya, angka bunuh diri akan berkurang (Lauer, 1989 : 35) :

  1. di kalangan keluarga yang mempunyai anak (integrasi kehidupan rumah tangga akan meningkat dengan adanya anak di rumah),
  2. selama adanya krisis nasional (ancaman dari luar meningkatkan integrasi politik), dan
  3. di kalangan orang Katholik dibanding orang Protestan (kelompok penganut katholik lebih terintegrasi dibanding Protestan yang lebih individualistik)

Lebih jauh, Durkheim membuat sebuah pola hubungan antara integrasi sosial dan angka bunuh diri. Durkheim berpandangan bahwa angka bunuh diri egoistik dan anomik tinggi apabila tingkat integrasi sosial itu rendah, dan angka bunuh diri altruistik itu tinggi dalam kondisi-kondisi tertentu apabila tingkat integrasi sosial tinggi (Jhonson, 1986 :194).

Dalam konteks penelitian Durkheim di atas, integrasi sosial yang tinggi dapat terjadi apabila interaksi sosial yang dikembangkan dalam sebuah masyarakat atau kelompok sosial tertentu bersifat terbuka (open interaction) dan mendalam (in-depth interaction). Dalam hal ini, orang Katholik mempunyai tingkat keterbukaan dan kedalamaan interaksi yang lebih tinggi dibanding orang Protestan.

Dalam tataran yang lebih jauh, dari hasil penelitian tersebut, Durkheim mencoba mendesain sebuah karakteristik masyarakat, kelompok sosial ataupun organisasi sosial yang merujuk pada tingkat integrasi sosial. Tipe masyarakat yang mempunyai integrasi sosial tinggi ia kategorikan sebagai masyarakat yang mempunyai solidaritas mekanik sedangkan tipe masyarakat yang mempunyai integrasi sosial rendah ia kategorikan dengan masyarakat yang mempunyai solidaritas organik.

Dari paparan ringkas tentang penelitian Durkheim di atas, Merton (Lauer,1989 :36) membuat beberapa kesimpulan penting, yaitu :

  1. Kohesi sosial memberikan dukungan psikis kepada anggota kelompok yang menderita ketegangan gawat dan kegelisahan
  2. Angka bunuh diri adalah fungsi dari kegelisahan dan ketegangan yang tak henti-hentinya yang diderita seseorang
  3. Orang Katholik mempunyai kohesi sosial lebih besar dibandingkan orang protestan
    Karena itu, dapat diperkirakan bahwa angka bunuh diri di kalangan orang katholik lebih rendah daripada di kalangan orang protestan

BUNUH DIRI ALTRUISTIK VS EGOISTIK
Sisi menarik dari penelitian Durkheim di atas adalah adanya dua hipotesis penting, yaitu:

  1. Terdapat hubungan antara bunuh diri egoistik dengan solidaritas organis. Artinya, semakin tinggi tingkat solidaritas organis sebuah komunitas sosial maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan terjadinya bunuh diri egoistik semakin tinggi.
  2. Terdapat hubungan antara bunuh diri altruistik dengan solidaritas mekanik. Artinya, semakin tinggi tingkat solidaritas mekanik sebuah komunitas sosial maka dapat disimpulkan bahwa kecenderungan terjadinya bunuh diri altruistik semakin tinggi.

Dua hipotesis di atas – dalam tataran empiris – dapat kita gunakan sebagai pisau analisis memahami fenomena bunuh diri yang marak terjadi pada beberapa tahun belakangan ini. Kasus-kasus bom bunuh diri yang terjadi di Bali, Iraq, Palestina, Riyadh dan beberapa tempat lain merupakan fenomena yang mencolok di akhir abad 21 ini. Di samping itu, kasus-kasus bunuh diri egoistik anak-anak di bawah umur, remaja dan orang dewasa juga merupakan gejala jaman yang semakin menjamur.

CULTIC RELIGION, FUNDAMENTALISME DAN BUNUH DIRI ALTRUISTIK
Cultic religion atau agama kultus dimaknai oleh Komarudin Hidayat (1995 : 92) sebagai sebuah bentuk gerakan keagamaan dengan sistem pengorganisasian yang ketat dan pemujaan terhadap guru yang berlebihan (kultus/taklid) serta dengan disiplin yang rumit, eksklusif atau tertutup, absolutistik, dan dengan sendirinya bersifat isolatif serta kurang toleran kepada kelompok lain. Cultic Religion ini biasanya bertumpu pada seorang tokoh/tokoh-tokoh spiritual yang kharismatik. Dalam tataran empiris, posisi cultic religion ini menghasilkan dua kemungkinan, yaitu : 1) sekte-sekte keagamaan dengan dogma yang unik, aneh dan rumit, dan 2) fundamentalisme-radikal yang eksklusif dan cenderung pada pendekatan kekerasan. Secara sosiologis, cultic religion ini mempunyai tingkat integrasi sosial yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk keberagamaan lainnya. Hubungan-hubungan sosial yang terjalin antar jama’ah sangat intens, intim dan eksklusif. Hal ini berimplikasi pada kondisi kelompok dengan "sense of belonging" yang sangat kuat.

Tokoh spiritual kharismatik sebagai pemimpin organisasi mempunyai fungsi yang strategis sebagai pemersatu organisasi. Tokoh-tokoh spiritual ini biasanya dicitrakan sebagai individu suci yang mempunyai banyak kelebihan mistik. Pencitraan ini menjadikan sang pemimpin spiritual mempunyai "hak istimewa" yang sangat tinggi. Prilaku-prilaku menyimpang pemimpin suci ini selalu ditanggapi secara permisif oleh para anggotanya. Bahkan, setiap tutur kata pemimpin spiritual dianggap sebagai undang-undang yang harus ditaati. Sanksi berat menanti jika ada para anggota jama’ah yang tidak menaati "titah" pemimpin suci ini. Dalam konteks ini, anggota cultic religion tidak mempunyai tujuan hidup kecuali yang telah ditentu-tetapkan oleh tokoh spiritual anutannya. Sehingga wajar, jika tindakan-tindakan sosial cenderung bersifat non-rasional.

Tak jarang, cultic religion ini – seperti yang telah penulis singgung di atas – menghasilkan fundamentalisme radikal yang ekslusif dan cenderung pada kekerasan. Isu-isu terorisme yang berkedok agama seringkali dioperasikan oleh anggota/jama’ah cultic religion ini. Bom bunuh diri di banyak tempat, serangan gas sarin di Jepang, dan bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekte-sekte keagamaan tertentu merupakan bentuk konkret kekerasan yang dihasilkan oleh keberagamaan berbentuk Cultic Religion. Lebih dari itu, Cultic Religion mempunyai kemampuan untuk mengintrodusir kekerasan menjadi sebuah dogma keberagamaan.

Analisis lebih lanjut – dengan menggunakan kerangka Durkheimian – menunjukkan bahwa anggota (baca : jama’ah) cultic religion mempunyai potensi melakukan bunuh diri altruistik. Hal ini disebabkan adanya fakta bahwa setiap cultic religion mempunyai kemampuan melakukan doktrinasi klaim-klaim kebenaran kepada anggotanya. Banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa bunuh diri altruistik terjadi pada cultic religion ini.

BUNUH DIRI MASSAL : KASUS BUNUH DIRI ALTRUISTIK ATAU EGOISTIK ?
Di era post-industrial dewasa ini, eksistensi agama (baca : spiritualisme) seolah mendapatkan kembali momentum kebangkitannya. Kemajuan sains dan tekhnologi ternyata semakin membuat hati manusia gelisah. Oleh karena itu, adalah wajar jika manusia modern – untuk mengobati kegelisahan hatinya – berbondong-bondong kembali ke pangkuan agama, menghayati spiritualisme dan metafisika. Studi-studi keagamaan pun muncul secara lebih massif dan sistematis di beberapa universitas terkemuka dunia, misalnya : University of Chicago, State University of New York, Harvard University, Sorborne University dan beberapa universitas lain di Eropa.

Di lain sisi, revivalitas agama ini juga mendorong menjamurnya kelompok/organisasi/sekte keagamaan yang cenderung pada cultic religion. Di Benua Amerika, konon terdapat lebih dari 1000 kelompok spiritual yang gejala-gejalanya jelas mengarah pada cultic religion. Di Asia sendiri – sebagai episentrum agama-agama besar dunia – juga ditenggarai adanya cultic religion ini, seperti kelompok LIA EDEN di Indonesia.

Implikasi dari keeklusifan cultic religion ini adalah adanya gejala tindakan yang tidak umum dijumpai di masyakarat, seperti kasus bunuh diri massal. Peristiwa bunuh diri massal menghebohkan terjadi pada tahun 1978 di Guyana, Amerika Serikat. Sejumlah 800 jama’ah kelompok kultus "People’s Temple" pimpinan Jame Jones melakukan bunuh diri massal di hutan belantara Jones Town. Mereka rela melakukan armageddon secara bersama-sama.

Peristiwa lain yang tak kalah menghebohkannya adalah kasus bakar diri massal pengikut sekte Branch Davidian (Ranting Daud) dari Gereja Advent Hari Ketujuh pimpinan David Koresh. Kejadian ini terjadi pada 19 April 1993 di sebuah pemukiman 16 km sebelah timur kota Waco, Texas, Amerika Serikat. David Koresh sendiri dikenal oleh pengikutnya sebagai laki-laki yang memiliki kepribadian menarik, penuh kharisma dan berdaya pikat tinggi. Wajah ganteng dengan rambut ikal terurai sebahu, membuat – terutama – banyak wanita tidak kuasa menolak keinginannya. Oleh karena itu, tidak pernah jelas berapa wanita yang pernah diperisterinya atau sekedar ditidurinya. Sejarah awal pernikahannya tercatat bahwa ia pernah mengawini seorang janda cukup usia yang menjadi pemimpin sekte Ranting Daud sebelum diambil-alihnya, Lois Roden. Ia tak peduli dengan usia Roden yang sudah 67 tahun sedangkan dirinya baru berusia 23 tahun ketika itu.

Catatan perkawinan selanjutnya terasa kurang sedap bagi standard kehidupan normal. Seorang gadis muda belia – untuk tidak mengatakan anak-anak – yang baru berusia 14 tahun bernama Rachel Jones dikawininya. Koresh selanjutnya melakukan sesuatu yang dilihat dari kacamata biasa sungguh tidak baik. Mengklaim diri menerima perintah dari Tuhan, ia membangun rumah (Nabi) Dawud yang baru. Dalam tradisi Kristiani, Dawud (Inggris : David) dikenal sebagai seorang Santo besar yang tidak pernah salah. Dawud beristrikan 99 wanita, yang diakhir kemudian digenapi menjadi 100 dengan memperistri Betsyeba (kelak menjadi ibu dari Nabi Sulaiman). Analogi dengan kisah (Israiliyat) Nabi Dawud tersebut, David Koresh mencita-citakan di rumah yang dibangunnya itu harus terdapat banyak istri, sebagaimana halnya Nabi Dawud. Koresh kemudian mengawini seorang gadis muda lagi, Robyn Bunds berusia 17 tahun, bahkan kemudian ibu mertuanya sendiri, Jeannine berusia 50 tahun, juga dikawininya. Terakhir diketahui bahwa Koresh juga mengawini adik iparnya dari istri pertama, Rachel, yaitu Michelle Jones yang baru berusia 12 tahun. Konon sebelum terjadi bunuh diri massal tersebut ada belasan anggota sekte yang "terpilih" menjadi calon istri David Koresh.

Dua contoh kasus di atas menunjukkan bahwa bunuh diri massal yang dilakukan sebuah kelompok kultus tidak serta-merta dapat dijustifikasi sebagai bentuk bunuh diri altruistik – sebagaimana asumsi yang dibangun oleh Dhurkheim. Dhuekheim berpandangan bahwa sebuah kelompok sosial yang mempunyai tingkat integrasi sosial tinggi mempunyai kecenderungan untuk melakukan bunuh diri altruistik. Namun, bunuh diri massal yang terjadi pada kedua kelompok kultus di atas – People’s Temple dan Branch Davidian – tidak bisa digolongkan sebagai bentuk bunuh diri altruistik. Alasannya, bunuh diri altruistik diidentikkan sebagai sebuah pengorbanan dalam wujud bunuh diri untuk membantu/menolong atau minimal sebagai wujud empati atas penderitaan orang lain. Dalam bunuh diri massal yang terjadi dalam kasus di atas, motifnya lebih pada tuntutan doktrinal yang bersifat egoistik daripada altruistik. Hal ini disebabkan tak ada alasan doktrinal kelompok – dalam melakukan bunuh diri massal – untuk membantu/menolong orang lain.

Atas dasar argumentasi di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa – tak seperti hipotesis Dhurkheim – sebuah kelompok sosial dengan tingkat integrasi sosial yang tinggi mempunyai kecenderungan untuk melakukan bunuh diri egoistik massal. Bunuh diri ini – seperti terlihat dari contoh kasus di atas – lebih didasarkan atas adanya tuntutan doktrinal yang dititahkan sang pemimpin kelompok sosial (baca : cultic religion) bersangkutan. Motif terjadinya bunuh diri egoistik massal ini berbeda dengan bunuh diri egoistik individual. Bunuh diri egoistik massal dilandasi atas adanya "visi" kolektif untuk mengakhiri hidup.

BOM BUNUH DIRI : SEBUAH BENTUK BUNUH DIRI ALTRUISTIK
Seperti telah penulis diskusikan di atas, sebuah cultic religion mempunyai kemampuan untuk mengintrodusir aktivitas kekerasan sebagai sebuah doktrin keagamaan (yang bersifat kelompok tentunya). Kasus-kasus bom bunuh diri yang beberapa tahun terakhir ini marak terjadi merupakan salah satu fakta betapa kuatnya kemampuan cultic religion dalam mempengaruhi visi dan misi anggotanya.

Pada larut malam, tanggal 12 Oktober 2002, bom meledak di depan Sari Club, Jl. Legian, Kuta, Bali. Kurang lebih 300 orang terluka dan 190 orang tewas akibat peledakan tersebut. Kebanyakan korban berasal dari Australia dan Indonesia. Dampak besar peledakan bom itu dirasakan terutama oleh masyarakat Bali karena ekonominya sangat tergantung kepada hasil bidang pariwisata yang setelah kejadian tersebut telah hancur. Tim investigasi (polisi RI dan polisi Australia) tidak perlu waktu yang lama untuk menangkap pelaku peledakan bom yang ternyata berasal dari kelompok cultic religion yang diklaim bernama "Jama’ah Islamiyah". Amrozi cs merupakan salah satu kelompok di Jama’ah Islamiyah yang dituduh melakukan aksi bom bunuh diri di Bali tersebut.

Selain di Bali, kelompok Jama’ah Islamiyah ini dituduh bertanggung jawab pada sejumlah aksi bom bunuh diri lainnya, seperti yang terjadi di Hotel JW. Marriot dan Kedubes Australia. Hasil investigasi dan analisis di lapangan menunjukkan bahwa motif dilakukannya bom bunuh diri tersebut tidak didasari oleh aspek-aspek egoistik/anomik. Terdapat klaim (doktrin) pada – salah satu kelompok1 – Jama’ah Islamiyah bahwa bom bunuh diri termasuk bagian dari jihad fi sabilillah (bersungguh-sungguh di jalan Allah). Para pelaku mengklaim bahwa aksi bom bunuh diri dilakukannya merupakan respon atas :1) pendudukan Israel yang sewenang-wenang di wilayah The West Bank dan sekitarnya; 2) pemboikotan terhadap Irak dan kekerasan yang terjadi diwilayahnya; dan 3) hegemoni dan kesewenangan Barat terhadao dunia Islam secara umum. Oleh karena itu, umumnya sasaran bom bunuh diri tersebut adalah titik-titik konsentrasi kepentingan AS/Barat di Indonesia.

Telaah lanjutan – dengan menggunakan analisis Dhurkheimian – dapat dipahami bahwa cultic religion semacam Jama’ah Islamiyah ini, yang mempunyai integrasi sosial tinggi dan solidaritas mekanik, mempunyai kecenderungan melakukan aksi-aksi bunuh diri yang bersifat altruistik, untuk kepentingan orang/pihak lain. Untuk konteks bom bunuh diri yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia akhir-akhir ini, motivasinya adalah sebagai bentuk solidaritas atas posisi umat Islam yang tertindas oleh kesewenang-wenangan Barat. Doktrinasi yang kuat oleh tokoh spiritual dalam cultic religion ini menjadikan anggotanya sanggup dan berani melakukan aksi-aksi bom bunuh diri. Secara pandangan orang pada umumnya, aksi-aksi bom bunuh diri tersebut adalah sesuatu yang irrasional, aneh dan mengerikan, tetapi bagi para pelakunya, bom bunuh diri yang telah mereka lakukan dianggapnya sebuah kehormatan agung (ultimate honour) dan tanggung jawab sebagai seorang muslim.

EPILOG : CATATAN UNTUK DHURKHEIM
Dhurkheim menganalisis bahwa dalam sebuah kelompok sosial dengan tingkat integrasi sosial yang tinggi dan solidaritas sosial yang bersifat mekanis mempunyai kecenderungan terjadinya bunuh diri altruistik. Namun, seperti telah penulis diskusikan dan analisis di atas, ternyata analisis Dhurkheim tidak sepenuhnya benar. Cultic religion – sebagai salah satu contoh kelompok sosial yang mempunyai tingkat integrasi sosial yang tinggi dan solidaritas sosial berbentuk mekanis – ternyata tidak hanya mempunyai kecenderungan untuk terjadinya bunuh diri yang bersifat altruistik, tetapi juga mempunyai kemampuan melakukan aksi bunuh diri egoistik massal.

MATERI KULIAH PENGANTAR SOSIOLOGI

Perubahan Sosial
(Lanjutan)


HARIS EL MAHDI
Home: Jl. Bromo 6/30 Batu
Hotline: 081357034349
E-mail: Harismahdi@Yahoo.com
Blog: Harismahdi.blogspot.com


Minggu Lalu kita telah bahas :
Perubahan Sosial Menurut :
- Auguste Comte : Perubahan sosial bersifat linear.
- Pitirim Sorokin : Perubahan sosial bersifat siklus.
- Karl Marx : Perubahan sosial karena adanya pertentangan kelas.

Faktor Pendorong Perubahan Sosial
- Kontak dengan Kebudayaan lain – diffusion
- Sistem pendidikan yang maju dan terbuka
- Sikap terbuka dan orientasi pd masa depan
- Toleransi terhadap penyimpangan
- Stratifikasi sosial terbuka
- Heterogenitas/pluralisme masyarakat

Faktor penghambat perubahan
- Masyarakat yang terisolasi
- Sistem pendidikan yang tdk memadai
- Kepentingan politik dan ideologi
- Konservatisme dan tradisionalis
- Prasangka thd hal-hal baru/asing
- Rasa takut adanya kegoyahan di masyarakat

Bentuk-bentuk Perubahan Sosial
- Evolusi
Perubahan sosial secara lambat, setahap demi setahap.
- Revolusi
Perubahan sosial secara cepat-radikal, mencakup seluruh aspek kehidupan.
- Reformasi
Perubahan sosial secara cepat tetapi tidak radikal, tidak menyentuh seluruh aspek kehidupan.

Reformasi 1998





REVOLUSI DI DUNIA
Revolusi Bholsevyk --- Rusia
Revolusi Kebudayaan -- China
Revolusi Industri – Inggris
Revolusi Perancis – Kerajaan mjd Republik
Revolusi Kemerdekaan 1945 – Indonesia
Revolusi Islam -- Iran

REFORMASI
Reformasi Meiji – Jepang
Reformasi 1998
Reformasi Uni Eropa
Reformasi DK PBB --- Hak veto

Agents of Change
-Tokoh Kharismatik – Imam Khomeini, Mahatma Ghandi, Soekarno, Hasyim Asy’ari
-Kaum muda & Mahasiswa – angkatan 1928, 1945, 1966, 1974, 1998
-Tekhnologi – Revolusi Industri, Revolusi IT
-Kalangan Intelektual – Nurcholis Madjid, Anis Baswedan, Amin Rais, Azyumardi Azra, Adian Husaini, Romo Mangunwijaya, Romo Mudji Sutrisno, dll

Efek Samping Perubahan Sosial
Euforia
Kesenangan/tindakan yang berlebihan terhadap suatu tema perubahan (bisa anarkhis)
Shock Culture (keterkejutan budaya)
Masy kaget dg adanya perubahan baru
Lag Culture
Perubahan terjadi tdk merata, shg ada bagian masy yg tdk tersentuh perubahan

Perubahan Sosial di Indonesia
Indonesia Pra Modern
- Fase Sri Wijaya
- Fase Majapahit
- Fase Kerajaan-kerajaan Islam
Indonesia Modern
- Fase Kolonialism
- Fase Kemerdekaan
- Fase Orde Lama
- Fase Orde Baru
Indonesia Post-Modern
- Fase Reformasi Politik
- Fase Transisi-Demokrasi

5 Agenda Reformasi 1998
Reformasi Politik – Demokrasi politik
Reformasi Ekonomi – Demokrasi ekonomi
Reformasi Hukum – kesetaraan di dpn hukum
Reformasi Pendidikan – pendidikan yg memanusiakan manusia & demokratis
Reformasi sosial-kebudayaan – Budaya disiplin, budaya malu, budaya anti-korupsi

TUGAS MAHASISWA
MENJADI KELOMPOK YG KRITIS DALAM MENGAWAL REFORMASI
MENDORONG PERAN MASY AGAR LEBIH PARTISIPATIF
MENEMPA DIRI UTK MJD SEORANG ENTERPRENEURSHIP YG PANCASILAIS (EKONOMI, SOSIAL, POLITIK, PENDIDIKAN, DSB)

1966
Karya: Taufik Ismail

Mahasiswa takut kepada Dosen
Dosen takut kepada Dekan
Dekan takut kepada Rektor
Rektor takut kepada Menteri
Menteri takut kepada Presiden
Presiden takut kepada Mahasiswa