Minggu, Mei 11, 2008

IDENTITAS BANGSA

Pena: Haris El Mahdi
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
(Teks Proklamasi)

Indonesia, memasuki abad 21 adalah profil sebuah bangsa yang sedang mengalami krisis identitas (identity crisis). Hal ini tidak hanya tercermin dari lemahnya kharisma bangsa di pentas hubungan internasional tetapi juga menjalar terasa di hampir seluruh sendi kehidupan bermasyarakat di tingkat lokal. Ibarat harimau yang tak bertaring, demikian tamsil yang tepat untuk menggambarkan keadaan negeri yang kita cintai ini.

Secara historis, krisis identitas ini merupakan dampak psikologis sebuah bangsa yang pernah dijajah oleh kekuatan asing selama berabad-abad dan diperparah oleh “penjajahan” yang dilakukan oleh bangsa sendiri selama beberapa dasawarsa terakhir ini. Memang benar, pada tanggal 17 bulan 8 tahun 1945 kita berhasil memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh, tetapi pada kenyataannya sampai detik ini kita belum benar-benar merdeka dan berdaulat penuh atas negeri ini (baca: Indonesia). Kemerdekaan yang kita raih dari penjajah asing tersebut hanyalah sekedar kemerdekaan fisik/pelimpahan wewenang kekuasaan semata, tetapi belum mendarah-daging menjadi watak kejiwaan (mind set) setiap warga negara.
Oleh karena itu adalah wajar jika saat ini hanya sedikit – bahkan hampir tidak ada – warga negara Bangsa Indonesia yang di dalam hatinya terpatri rasa bangga sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh. Dengan kata lain, masih sangat sedikit individu warga negara Bangsa Indonesia yang “benar-benar” merasa sebagai individu yang merdeka dari sebuah bangsa yang merdeka.

Bukti-bukti mengenai hal ini sangat mudah kita temui dalam berbagai fenomena kehidupan berbangsa. Anak-anak muda kita yang bermental rapuh terkontaminasi hasil limbah kebudayaan Barat, seperti minuman keras, narkotika, pornografi dan hedonisme merupakan wajah buram dari generasi penerus bangsa. Runtuhnya mental anak-anak muda tersebut merupakan cermin paling nyata tentang krisis identitas yang melanda Indonesia.

Lebih dari itu, Indonesia dewasa ini juga dikenal sebagai negara terkorup di dunia. Dalam tataran riil, korupsi telah menjadi watak kejiwaan bangsa yang sulit dihilangkan atau dengan kata lain – meminjam istilah Bung Hatta – korupsi telah menjadi budaya bangsa. Kondisi ini sungguh memprihatinkan, tidak saja disebabkan korupsi merupakan tindak kejahatan yang merugikan bangsa secara materiil, tetapi lebih dari itu, budaya kotupsi merupakan refleksi dari tingginya tingkat ketidak-jujuran. Dan, mana mungkin kita bisa membangun bangsa dengan bermodalkan ketidak-jujuran?

Kondisi di atas masih diperparah dengan rendahnya etos/semangat kerja dan daya kreativitas sumber daya manusia yang dimiliki negeri ini. Sampai saat ini, kebanyakan dari kita masih menggunakan rumus :

Bekerja = Mendapat Uang
ATAU
Bekerja = Mendapat Imbal Balas

Hal inilah yang menjadi faktor pemicu tingginya tingkat pengangguran dan rendahnya daya saing sumber daya manusia yang kita miliki. Sebagian besar dari kita tidak mau bekerja berpeluh keringat jika dalam prespektif sudut pandang kita pekerjaan tersebut tidak menguntungkan secara materiil. Konskuensi logis dari cara pandang seperti ini adalah mendorong menjamurnya aktivitas pembajakan dan penyelundupan yang beraneka-ragam. Jika sudut pandang ini tidak diubah, maka meskipun hukum dan perundang-undangan dirancang sebaik mungkin tidak akan membawa dampak yang signifikan. Seharusnya, rumus yang relevan untuk Bangsa Indonesia adalah :

Bekerja = Untuk Menumbuh-kembangkan Bakat & Potensi diri/individu.

Dengan menggunakan rumus di atas, secara otomatis menumbuhkan jiwa wira-usaha dan meningkatkan daya kreativitas. Dan, tidak ada lagi istilah pengangguran, karena setiap warga negara giat bekerja menyumabangkan karya dan karsanya untuk bangsa sesuai bakat dan kemampuan yang dia miliki.

Paparan di atas adalah sedikit dari begitu kompleksnya permasalahan yang ada di negeri Indonesia. Namun, terdapat satu kalimat yang menjadi “keyword” dari seluruh permasalahan tersebut, yaitu “MANUSIA INDONESIA BELUM MERDEKA LAHIR-BATHIN”. Ciri atau identitas orang yang merdeka adalah berwatak bebas – aktif. Bebas dalam arti tidak ada apapun dan siapapun yang yang bisa menghegemoni keberadaan dirinya, kecuali kebenaran. Sedangkan Aktif bermakna, ia senantiasa bergerak-beraktivitas untuk berkarya sekaligus menuntas-selesaikan beragam permasalahan yang menghadang satu per satu. Indonesia abad 21 sangat miskin dengan orang-orang berjiwa merdeka seperti ini.

Agaknya, visi Indonesia ke depan adalah menggali kembali identitas bangsa yang selama ini telah kita tinggalkan, yaitu – dari mulai sekarang – mencetak sumber daya manusia yang mempunyai jiwa merdeka lahir-bathin. Sumber daya manusia yang siap berjuang, berpelu-keringat tanpa memperdulikan imbalan/balas jasa yang akan ia dapatkan. Ia sungguh-sungguh berjuang dan terus berjuang untuk kemuliaan Indonesia. Dan, “tak ada pemberhentian akhir bagi sebuah bangsa yang sedang berjuang” kata Soekarno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar