Minggu, Mei 11, 2008

THE INDONESIAN DREAM

Pena : Haris El Mahdi

Di wilayah yang sekarang berdiri negara Indonesia – ribuan tahun yang lalu – pernah hadir dua peradaban agung dengan sejarah dan filosofi peradabannya yang mengagumkan. Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera dan Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa – hadir dalam kurun waktu yang berbeda – menyumbangkan kemilau peradabannya pada dunia. Secara historis, Kerajaan Sriwijaya hadir lebih dahulu dari Kerajaan Majapahit. Tetapi, jika ditilik dari capaian peradabannya, Kerajaan Majapahit lebih menonjol dibanding Kerajaan Sriwijaya. Hal ini diindikasikan dari cakupan wilayah yang dikuasainya (Majapahit lebih luas), ketahanan peradabannya (Majapahit lebih lama menjaga kesinambungan generasi) dan capaian kemakmurannya (Majapahit lebih makmur).

Terdapat tiga visi yang membuat Kerajaan Majapahit mampu melebihi keagungan Kerajaan Sriwijaya. Ketiga visi tersebut terangkum dalam sebuah sesanti populer: “Panjang Punjung Pasir Wukir, Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja”. Sesanti ini populer karena selalu dikomunikasikan pada masyarakat umum melalui media kesenian Wayang. Secara detail makna dari sesanti ini terjabar dalam penjelasan sebagai berikut (Purwadi, 2005) :
  1. Panjang Punjung Pasir Wukir, terdiri dari empat kata yang terurai sebagai berikut : 1) Panjang, dalam suluk pedalangan dijelaskan panjang dawa pocapane berarti mempunyai sejarah yang lama. Suatu bangsa yang akar historisnya jika ditelusuri dan dihayati akan menambah kepercayaan diri yang kuat. Dengan membandingkan peristiwa masa lalu dan peristiwa yang sedang berlangsung akan mudah mencari jalan keluar dari setiap persoalan memiliki nilai kesamaan. Kegagalan dan keberhasilan masa lalu akan memberikan pelajaran yang sangat berharga. Demikianlah Majapahit, kerajaan agung yang tumbuh membangun peradaban dengan tanpa melupakan sejarah masa lalu yang mengikutinya. Kemuliaan masa lalu merupakan spirit yang kuat untuk mencipta kemuliaan-kemuliaan yang baru. Tokoh pergerakan Indonesia Modern, Soekarno pernah berujar : “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH). 2) Punjung, merujuk pada keluhuran wibawa yang dimiliki Majapahit. Kewibawaan negara Majapahit diperoleh dari pengakuan rakyat dalam negeri dan pengakuan kedaulatan dari negara-negara lain. Rakyat yang sejahtera lahir-bathin dan negara tetangga yang mendapatkan hutang budi merupakan modal pokok negara Majapahit untuk tampil terkemuka mendapat pengakuan dan kewibawaan. 3) Pasir – dalam dunia pewayangan – dimaknai sebagai samudera. Pemaknaan kata pasir ini tentu berdasarkan realita bahwa Majapahit memiliki wilayah yang sebagian besar adalah samudera raya. Harus diakui, samudera atau lautan merupakan sumber kekayaan alam yang melimpah ruah. Di sana terdapat sumber daya laut yang sangat besar dan merupakan jalur perdagangan, pelayaran dan pelabuhan Majapahit. Bahan tambang juga banyak tersimpan dalam laut. Produksi garam besar-besaran bisa dilakukan di sekitar laut. Demikian pula keanekaragaman hayati, tumbuh-tumbuhan laut, terumbu karang, dan ikan-ikan tentu bisa mendatangkan kemakmuran. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan negara Majapahit menguasai tekhnologi dan ilmu kelautan. Dalam sejarah keemasannya, Majapahit pernah mempunyai armada laut yang tangguh dan penuh wibawa. 4) Wukir berarti gunung, Kraton Majapahit – di samping berada di hamparan samudera yang luas – dikelilingi panorama gunung yang indah permai. Adanya pegunungan menambah kesuburan tanah. Hutam Majapahit memuat kekayaan hewani dan nabati. Kayu-kayuan yang sangat mahal bermutu tinggi melimpah-ruah di hutan-hutan Majapahit. Sebagai contoh, kayu jati di hutan Pulau Jawa dan kayu rotan di hutan belantara Kalimantan. Pengelolaan hutan yang terbuka, adil dan teratur membuka lebar-lebar kesempatan pemakmuran rakyat. Wukir juga dapat dimaknai pegunungan yang indah. Majapahit kaya akan deretan pegunungan yang menawan hati, menyajikan panorama indah dan udara sejuk yang membuat betah dan nyaman bagi orang yang tinggal. Keindahan panorama Majapahit banyak memikat orang asing datang melancong. Hal ini tentu menambah kemakmuran rakyat.
  2. Gemah Ripah Loh Jinawi, Negara Majapahit berhasil mewujudkan masyarakat yang gemah ripah loh jinawi, yang bermakna : 1) Gemah dalam dunia pewayangan berkaitan dengan kesibukan orang berdagang. Perdagangan merupakan kegiatan perekonomian yang sangat penting. Suatu negara yang lancar dan aman proses perdagangannya, pertanda bahwa ekonomi berjalan dengan baik dan dinamis. Pertukaran barang membuat kehidupan menjadi bergairah dan hal ini berkaitan dengan semangat kerja. Etos kerja dapat dirangsang dengan imbalan yang memadai. Dunia perdagangan yang gemah menjanjikan hal itu. Siang malam orang berjualan di pasar tidak lelah dan tidak mengantuk. Hujan dan panas tidak merongrong usahanya untuk maju berkembang. Untuk itu, negara harus menjamin keamanan perdagangan. 2) Ripah mengacu pada keramaian Negara Majapahit. Daya pikat Majapahit dalam banyak hal (alam, manusia, ilmu-pengetahuan (khusunya agama), sosial dan budaya) membuat banyak orang berkunjung dan berbondong-bondong untuk mencari penghidupan, belajar atau sekedar berdarma wisata. Di mana saja yang banyak dituju orang pasti di situ banyak manfaat yang didapatkan. Ibarat pepatah : ada gula ada semut. 3) Loh berarti kesuburan. Tanah yang subur dan dapat menumbuhkan segala tanaman dengan baik disebut tanah yang loh. Di wilayah Majapahit tanahnya sangat subur. Palawija, palagandul dan palakependem di mana-mana subur menghijau dan menentramkan mata memandang. Ketentraman ini berbuah pada kenyamanan semua orang untuk tidak saling bersaing. Kekerasan dan kecemburuan dapat dihindari. Tanah tumpah darah yang sudah loh ini perlu dikelola dengan baik. 4) Jinawi dalam dunia pewayangan berarti apa yang dibeli serba murah. Kebutuhan hidup sehari-hari dapat dijangkau oleh masyarakat Majapahit secara mudah. Kesenjangan daya beli antara si punya dan si tidak punya tidak terlampau lebar. Kecemburuan sosial yang berkaitan dengan kesenjangan daya beli membuat orang yang merasa tidak mampu akan berbuat nekad agar dirinya dapat mengejar ketertinggalan. Orang mau menjambret, mencopet, merampok, merompak, korupsi dan menjadi pelacur karena dengan jalan wajar dia tidak bisa (sulit) memperoleh rejeki. Negara yang memperoleh predikat Jinawi, rakyatnya akan ramah dan murah senyum. Tegur sapa sesama bukan barang mahal dan lebih penting lagi masyarakat akan mulai memikirkan cara memaknai hidup, entah dengan berkesenian atau mengembangkan pemikiran ilmiah-religius. Kesenian, religiusitas dan ilmu-pengetahuan pun berkembang pesat.
  3. Tata-Tentrem Kerta Raharja, Negara Majapahit juga berhasil mewujudkan masyarakat yang tata-tentrem kerta raharja. 1) Tata-tentrem berarti tentram, tenang, aman, damai dan dapat membahagiakan lahir maupun bathin. Tata-tentrem merujuk pada aspek kejiwaan. Untuk mencapai suasana tata-tentrem ini, antar unsur masyarakat harus saling menghormati hak dan kewajiban, terbuka, toleran, tenggang rasa, tepa selira, tahu diri, mawas diri, introspeksi, kompromis dan humanis. Di sini pengendalian diri terhadap pergaulan sangat diperlukan. Masyarakat yang tata-tentrem akan membuat hidup menjadi kerasan atau betah. Dalam suasana tata-tentrem tidak akan ada orang yang merasa dihina dan diremehkan, apalagi merasa terancam jiwa dan hartanya. 2) Karta berkaitan dengan kemakmuran dan aktivitas kerja rakyat Majapahit. Kesuburan tanah dan kekayaan laut berpadu dengan etos kerja yang tinggi akan menghasilkan kemakmuran. Hal ini mengindikasikan suasana masyarakat yang gemar berkarya, produktif dan sibuk sesuai bakat-potensi yang dimilikinya. Pedagang rajin berdagang, petani sibuk bercocok-tanam, peternak rajin menggembala, aparat negara sibuk mengelola hajat hidup orang banyak. Kesibukan kerja yang produktif akan mencegah terjadinya penyimpangan sosial yang menjurus pada kriminalitas. Masing-masing individu mempunyai kesempatan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi kejayaan negara. 3) Raharja berarti jauh dari kejahatan. Koruptor, pencuri, perampok, dan penyakit masyarakat lainnya tidak akan mendapat tempat. Harta dan kekayaan, ternak dan hasil pertanian aman ditaruh dimana saja, tidak ada kejahilan dan kejahatan yang mengganggu. Mereka yang kecukupan membantu yang tidak berkecukupan. Hal ini menjadikan yang kekurangan kerjanya menjadi giat untuk mengejar ketertinggalan dan bisa membagi hartanya kepada orang lain. Kejujuran dan kesaling-pengertian menjadi denyut nadi kehidupan.

Ketiga hal di atas itulah yang mampu menghantarkan Majapahit sebagai kerajaan yang makmur-bersahaja. Makmur karena kekayaan alamnya mampu dikelola dengan baik dan menghasilkan devisa negara melimpah. Bersahaja karena kemakmuran yang dihasilkannya ditopang atas dasar untuk kepentingan bersama. Gotong-royong dan gugur-gunung menjadi bagian hidup sehari-hari. Kapital sosial Majapahit sangat kuat menopang dan menggerakkan kemakmuran yang dimilikinya. Dan, keragaman agama, ras dan suku bangsa tidak menimbulkan gejolak. Kita masih ingat dengan konsepsi agung pondasi kapital sosial Majapahit : “bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”. Konsepsi inilah yang sekarang hendak kita wujud-terapkan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Apa yang telah menjadi visi dan berhasil wujud-nyatakan oleh Kerajaan Majapahit itulah yang seharusnya menjadi mimpi saya, mimpi anda, mimpi kita semua, mimpi Indonesia. The Indonesian Dream……………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar