Kamis, September 17, 2009

RELASI GENDER DALAM PRESPEKTIF TRADISI SPIRITUALITAS ISLAM

Haris El Mahdi

Hawa tercita di dunia,
Tu’ temani Adam.
Begitu juga dirimu,
Tercipta tu’ temani aku
(Dewa 19)

Chemistry of Need
Wanita – dilihat dari sudut pandang manapun – selalu mempunyai sisi-sisi yang menarik dan memikat hati laki-laki. Dan, untuk alasan itulah Tuhan menciptakan wanita, yakni sebagai perhiasan sekaligus teman bercanda bagi laki-laki. Betapapun Tuhan telah mendesain alam semesta dengan tata arsitektural yang sungguh indah, elok dan menakjubkan, hati seorang laki-laki tak akan bisa tentram tanpa kehadiran seorang wanita di sampingnya atau di hadapannya. Seolah-olah terbersit dalam hatinya sebuah ungkapan: “Bolehlah Tuhan tidak menciptakan alam semesta, tetapi jangan Engkau biarkan diriku merana tanpa kehadiran seorang wanita!” Itulah naluri fitriyah setiap laki-laki di seluruh pojok dunia.

Dan, itulah sebabnya, Adam yang yang telah Tuhan ciptakan sebagai manusia pertama, hatinya selalu gelisah gundah-gulana meskipun hidup dan bertempat tinggal di Surga yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan. Dia (baca: Adam) merasa ada belahan jiwanya yang hilang. Dus, belahan jiwa Adam yang hilang itu adalah wanita atau lebih tepatnya Hawa…!

Lebih dari itu, wanita adalah mahakarya Tuhan yang mempunyai banyak misteri bagi laki-laki. Keindahan tubuhnya, kehalusan perasaannya dan kelembutan pribadinya membuat banyak laki-laki harus (baca: terpaksa) bertekuk-lutut dihadapan seorang wanita.

Tetapi tak jarang, dikarenakan kelemahan yang dimilikinya, perempuan menjadi “bahan permainan” laki-laki. Kadang-kadang atau bahkan sering terjadi, laki-laki memanfaatkan sisi kelemahan wanita untuk memuaskan nafsunya semata. Kita sering menyaksikan di panggung kehidupan ini, seorang wanita terpaksa meratapi kesedihan hanya dikarenakan dirinya tidak dihargai oleh kaum laki-laki. Kita juga sering menyaksikan, betapa banyaknya perempuan kehilangan kehormatan dan jati diri disebabkan ulah jahil kaum laki-laki. Di sinilah uniknya keberadaan perempuan di panggung kehidupan. Di satu sisi ia dipuja-puja oleh kaum laki-laki, namun di sisi lain ia dicampakkan laksana sampah yang tak berguna. kesedihan hanya dikarenakan dirinya tidak dihargai oleh kaum laki-laki. Kita juga sering menyaksikan, betapa banyak wanita kehilangan kehormatan dan jati diri disebabkan ulah jahil kaum laki-laki. Di sinilah uniknya keberadaan wanita di panggung kehidupan. Di satu sisi ia dipuja-puja oleh kaum laki-laki, namun di sisi lain ia dicampakkan laksana sampah yang tak berguna.

Namun demikian, bagi wanita, laki-laki juga sama misteriusnya. Ketampanan wajahnya, kharisma yang dimilikinya serta kewibawaan dan ketegasannya dalam menuntaskan permasalahan menjadikan wanita “terpaksa” bersimpuh untuk melayani laki-laki. Namun, tak jarang wanita merasa jijik terhadap laki-laki. Hatinya yang keras, perilakunya yang kejam dan ambisinya yang besar menjadikan wanita muak, jijik, dan tak suka dengan laki-laki. Baginya laki-laki tak ubahnya seperti seorang penguasa tiran yang senantiasa memaksakan kehendaknya, merampas harkat dan martabat kewanitaan. Dus, di sini pulalah uniknya keberadaan laki-laki di pentas panggung kehidupan. Di satu sisi ia (baca: laki-laki) dibutuhkan dan menjadi harapan bagi wanita, namun di sisi lain ia dibenci dan dicaci-maki.

Demikianlah sekilas hubungan yang terjadi antara laki-laki dengan wanita atau antara perempuan dengan pria. Sebuah hubungan hiperbolic, di satu sisi laki-laki membutuhkan wanita dan juga sebaliknya, namun di sisi lain laki-laki mencampakkan wanita dan perempuan membenci pria. Hubungan antara laki-laki dan wanita seperti ini telah menjadi sumber inspirasi bagi sebagian besar karya-karya sastra dunia.

Laki-laki – wanita: manifestasi sifat-sifat ilahiyah.
Tuhan yang satu, dalam tradisi Islam, disebut dengan nama Allah. Al-qur’an mengabadikan kata Allah sebanyak 2968 kali. Dia (Allah) adalah centre of everything atau axis of everything. Pencipta sekaligus penghancur kehidupan, pemaaf sekaligus penghukum bagi manusia-manusia yang berdosa. Dia maha perkasa (Al-Jabbar) sekaligus maha lembut (Al- Lathif).

Artinya, sebagai dzat, Allah adalah tunggal dan berbeda dengan makhluk. Al qur’an menjelaskan: “Dia-lah Allah yang Maha Esa” (QS 112:1) atau dalam penjelasan yang lain “Tak ada sesuatu pun serupa denganNya” (QS 42:11). Dalam konteks ini, Allah sangat jauh dan tak dapat didekati oleh makhluk-makhluk ciptaanNya. Para ilmuwan muslim mengistilahkan posisi ini sebagai “tanzih” yang bermakna bahwa Allah tak bisa dibandingkan, diserupai bahkan didekati.

Pertanyaannya: dengan cara apa manusia mendekati Allah? Al qur’an memberi jawaban: “Serulah Allah, serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu dapat menyeru, karena Dia mempunyai nama-nama yang terbaik” (QS 17:110). Melalui nama-nama yang terbaik – Asmaa ‘ul Husna – itulah manusia dapat mendekati Allah. Inilah yang disebut dengan “tasybih”, yang bermakna bahwa Allah itu dekat dan dapat diserupai.

Asmaa ‘ul Husna berisi 99 nama-nama indah Allah, yang dapat dilihat dalam dua prespektif, yaitu nama yang merefleksikan sifat maskulin Allah dan nama yang merefleksikan sifat feminin Allah. Sifat-sifat maskulin Allah dapat merujuk pada sebutan Maha Kuasa, Maha Besar, Maha Perkasa, Maha Tinggi, Maha Pemarah, Maha Penghancur, Maha Penyiksa, Maha Raja dan Maha Pemusnah. Hadits menyebut kesemuanya ini sebagai nama-nama keagungan (jalal), atau hebat (qahr), atau adil (‘adl) atau murka (ghadhab).

Sementara itu, sifat-sifat feminin Allah dapat dirujuk dalam sebutan Maha Indah, Maha Dekat, Maha Pengasih, Maha Penyayang Maha Kasih, Maha Lembut, Maha Pengampun, Maha Pemberi Hidup, dan Maha Pemberi Rizki. Semua ini dikenal sebagai nama-nama keindahan (jamal), atau kelembutan (luthf), atau anugerah (fadhl), atau rahmat (rahmah).

Artinya, Allah tidak hanya mempunyai sifat seorang ayah yang keras dan suka melarang-larang, tetapi juga mempunyai sifat seorang ibu yang hangat dan penuh kasih-sayang. Bahkan, Rasulullah pernah bersabda: “Rahmat Allah mendahului kemurkaanNya.” Dalam bahasa lain, sifat feminin Allah mendahului sifat maskulinNya.

Nah, melalui sifat-sifat Asmaa ’ul Husnaa yang saling berpasangan – feminin-maskulin – inilah Allah mencipta alam semesta. Langit Allah pasangkan dengan bumi, malam dengan siang, panas dengan dingin, gelap dengan terang, air dengan api dan seterusnya. Manusia pun Allah cipta berpasangan, laki-laki dengan wanita. Tak ada satupun makhluk ciptaan yang tunggal tanpa pasangan, karena hal itu menyalahi sifat Allah. Al- qur’an berbicara:”Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan” (QS 51:49). Singkat kata, seluruh isi kosmos – termasuk manusia – merupakan manifestasi dari sifat maskulin-feminin Allah.

Laki-Laki – Wanita: Dua Posisi yang Saling Melengkapi
Langit adalah pria,
Bumi adalah wanita,
Apa saja yang diberikan oleh satunya,
Yang lain pun menerimanya
.
(Jalaludin Rumi)

Dalam tradisi Islam, diterangkan bahwa Hawa dicipta melalui tulang rusuk Adam. Artinya, Hawa merupakan sisi feminin yang dimiliki Adam, sebaliknya, sisi maskulin Adam juga tersembunyi dalam jiwa Hawa. Hubungan antara Adam dan Hawa bersifat korespondensi, saling membutuhkan, melengkapi dan merindukan.

Saat Adam dan Hawa harus dipisahkan – karena memakan buah terlarang – keduanya terlunta-lunta di muka bumi, membawa beban berat kerinduan untuk saling bertemu. Andaikata, saat itu Allah tidak memisahkan keduanya, niscaya beban yang mereka bawa tidaklah terlalu berat.

Oleh karena itu – dalam tradisi Islam – relasi antara laki-laki dengan wanita bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan – sebagaimana tradisi pemikiran Barat. Keduanya Allah cipta saling melengkapi dan merindukan. Laki-laki merindukan wanita sebagaimana langit merindukan bumi. Langit sangat bergembira saat bumi mengeluarkan perhiasannya berupa tumbuh-tumbuhan beraneka ragam. Bumi pun menari-nari kegirangan saat langit mencurahkan hujan.

Al-Qur’an tidak mengenal feminisme ataupun maskulinisme, karena penekanan pada satu sisi berarti merusak kesetimbangan sekaligus menyalahi kefitrahan penciptaan. Al-Qur’an menerangkan: ”...mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka.” (QS 2:187).

Wanita adalah cermin bagi laki-laki, demikian juga laki-laki adalah cermin bagi wanita. Dalam diri wanita, laki-laki bisa secara nyata melihat dan merasakan kualitas-kualitas feminin, sebaliknya dari laki-laki, wanita bisa melihat dan merasakan kualitas-kualitas maskulin. Saat melihat wanita, sejatinya laki-laki melihat sisi lain dari dirinya, demikian juga wanita. Dan, pernikahan mempertemukan dua kualitas itu – feminin dan maskulin – secara lebih intim.

Melihat Tuhan dalam Diri Wanita
Sebagaimana telah disinggung di atas, wanita adalah bagian dari laki-laki dan sebagian milik laki-laki ada dalam diri wanita. Wanita adalah ”harta karun” tersembunyi yang dicari dan dicintai laki-laki. Oleh karena itulah rasulullah mencintai wanita. Dalam sebuah hadits, rasulullah bersabda:”Tiga hal yang aku sukai dari duniamu adalah wanita, wewangian, dan dijadikannya mataku teduh dalam mengerjakan sholat.”

Jika Muhammad SAW – manusia paling sempurna – menyukai wanita, berarti ada sesuatu yang spesial – secara spiritual – dalam diri wanita. Tidaklah mungkin seorang Nabi mencintai sesuatu hanya didorong oleh nafsu belaka.

Telah kita bahas bahwa wanita sejatinya merupakan manifestasi dari sifat-sifat feminin Allah. Sifat-sifat Allah yang indah, lembut, pengasih, penyayang, dan pemberi rahmat terserap dalam diri wanita. Artinya, dalam diri wanita-lah kita bisa melihat dan merasakan keindahan Allah secara utuh. ”Allah itu indah dan menyukai keindahan” ujar sebuah hadits. Hal ini tak mungkin dapat kita lihat dan rasakan dalam diri laki-laki.

Nah, melalui keindahan dan kelembutan itulah manusia lebih mudah mendekati dan mencintai Allah daripada melalui sifat-sifat maskulinNya, seperti: Maha Perkasa, Maha Kuat dan Maha Penyiksa. Melalui sifat-sifat feminin Allah, manusia merasa lebih nyaman ”berbincang” dan ”bercengkrama” dengan Allah. Di sini kita bisa mengerti mengapa sifat feminin Allah mendahului sifat maskulinNya. ”Rahmat Allah mendahului murkaNya” ujar sebuah hadits. Dalam hadits yang lain, dinyatakan bahwa Ar-Rahmaan dan Ar-Rahiim (kualitas feminin) merupakan induk dari asmaa ’ul husnaa.

Oleh karena sifat feminin Allah melekat dalam diri wanita, maka secara spiritual sejatinya wanita lebih mudah merasakan kehadiran Allah daripada laki-laki. Wanita lebih mudah menangis memohon ampunan dan pertolongan Allah daripada laki-laki. Dalam konteks inilah Allah lebihkan wanita daripada laki-laki satu derajat.

Seperti halnya Muhammad SAW, Allah-pun mencintai wanita, karena dalam diri wanita-lah Allah bisa mengagumi keindahan diriNya bukan dalam diri laki-laki. Bahkan, Allah titipkan sebagian proses penciptaan pada diri wanita melalui rahim, wadah bagi nutfah untuk berproses menjadi manusia baru.

Dus, Laki-laki yang sanggup secara utuh menyerap sifat-sifat feminin Allah melalui diri wanita, maka dia akan mendapat anugerah sifat kenabian. Allah berfirman: ”...Telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan) dan keselamatan bagimu, amat belas-kasihan dan penyayang bagi orang-orang mu’min” (QS 9:128). Ayat di atas menjelaskan bahwa Muhammad – karena kecintaannya pada wanita – mampu menyerap sifat-sifat feminin Allah. Rasul mempunyai sifat belas-kasihan dan penyayang, sebuah kualitas sifat feminin.

Akhirnya, sebuah syair penulis sajikan untuk menutup tulisan ini:

Di rahimnya aku merasakan sorga
Di pangkuannya ’ku menemukan cinta
Keindahannya buatku terpesona
Jiwaku adalah wanita




Tidak ada komentar:

Posting Komentar