Senin, September 14, 2009

PREMATURE SOCIETY

Oleh: Haris El Mahdi

“By dint of meaning, information, and transparence our societies have passed beyond the limit point, that of permanent ecstasy: the ecstasy of the social (masses), the body (obesity), sex (obscenity), violence (terror), and information (simulation).”
(Jean Baudrillard, The Ecstasy of Communication, 1987)

Pra-Wacana
Ilmu-Pengetahuan, moralitas, etika, sopan-santun, dimanakah saat ini ? di balik gegap-gempita infotainment-kah, yang setiap hari mondar-mandir di TV? Ataukah di antara acara-acara reality-show yang menyentuh perasaan dan menguras air-mata penonton? Atau malah berada di sudut dunia maya, hadir berdampingan bersama obrolan-obrolan ringan para pengguna Facebook, Friendster, Twitter dan yang sejenisnya.

Kita telah terjebak dalam “proyek lupa” menurut pengertian Milan Kundera, atau setidak-tidaknya “lupa-lupa ingat”, dalam bahasa syair yang didendangkan oleh grup band Kuburan. Dunia benar-benar bertransformasi dalam memaknai nilai dan norma. Standarisasi nilai (baik atau buruk) tidak lagi ditentukan oleh lembaga-lembaga yang berkompeten, tetapi ditentukan oleh pasar (market). Sesuatu yang tak rasional dan tak bermutu bisa sangat membumi dan digandrungi masyarakat, politisi-politisi yang tak bermoral bisa melenggang mudah menjadi wakil rakyat selama dia bisa menguasai dan diterima pasar dan kebudayaan-pun bertransformasi pada hal-hal yang bersifat artificial dan pseudo.

Coba ditengok betapa dahsyatnya penerimaan masyarakat atas lagu Tak Gendong karya mbah Surip. Lagu – yang dalam prespektif penulis – sangat sederhana dan minim makna. RBT lagu ini bisa mencapai miliaran rupiah. Artinya, masyarakat merasa happy dengan lagu itu, lagu yang enak di dengar telinga (easy listening) dan sekedar sebagai lucu-lucuan (just for joke), tidak lebih dari itu. Masyarakat kita telah kehilangan sense of personality, kehilangan kesadaran akan jati diri.

Anda simak pula acara-acara yang disajikan televisi setiap hari, yang didominasi oleh sinetron-sinetron yang miskin ide, infotainment dan acara reality-show. Media massa telah menjadi raksasa super-body yang menghipnotis masyarakat. Simak pula acara-acara musik di TV dan Radio yang tidak pernah berhenti bereproduksi setiap hari. Mengajak masyarakat untuk terus berdendang dan bergoyang, melupakan carut-marut masalah kebangsaan. Bahkan, acara-acara resmi kenegaraan terasa hambar jika tidak diselipi dengan musik atau hiburan. Seorang pejabat pemerintah akan merasa malu jika tidak turut menyanyi dan bergoyang dalam acara-acara resmi itu.

Sementara itu, anak-anak dan kaum muda sibuk mengisi waktu luang dengan game online; ber-Facebook-ria; menonton konser musik; main Futsal; kongkouw-kongkouw di Mall, cafe, pub atau diskotik berdiskusi tentang produk tekhnologi komunikasi terbaru dan yang sangat parah, tidak sedikit dari kaum muda kita mengisi waktu luang dengan mengakses situs-situs porno. Indonesia pun mendapat predikat sebagai salah-satu negara dengan pengakses situs-situs porno terbanyak di dunia. Sangat ironis........

Forum-forum diskusi, kajian dan seminar sepi peminat, kecuali disisipi dengan mengundang artis Ibu-kota atau seminar yang membahas Cara Mudah Mandapat Uang, Kiat-Kiat Menjadi Pengusaha Sukses, Cara Sehat Membahagiakan Pasangan dan tema-tema sejenis yang berorientasi untuk meraih kesenangan duniawi.
Singkatnya, secara tidak-sadar, kita digiring untuk mengisi hidup dengan ”happy-happy,” tertawa, bersenda-gurau, asal-asalan dan permisif

The Third Wave Epidemic
Alvin Toffler (1981) dalam buku “The Third Wave”, membagi peradaban manusia dalam tiga fase episode sejarah, yaitu :

Gelombang peradaban pertama (The First Wave)
Pada fase ini, masyarakat berada pada ruang lingkup kebudayaan agraris atau agrikultural. Ritme perubahan sosial masih berjalan sangat lambat. Mobilitas sosial, ekonomi, dan budaya relatif rendah dan bahkan cenderung stagnan. Nilai-nilai lokal (lokal genius) masih menjadi panutan utama dalam melanggengkan hubungan atau interaksi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Dalam prespektif sosiologi, masyarakat agrikultural ini merupakan masyarakat teologis dan/atau masyarakat metafisik (menurut Auguste Comte). Dalam fase ini, tekhnologi yang dikembangkan oleh masyarakat adalah tekhnologi yang bersifat “alamiah”, yakni tekhnologi dengan bahan baku utama bahan-bahan yang ada di alam. Dengan bahasa lain, ketergantungan manusia atau masyarakat pada sumber daya alam sangat tinggi, hal ini mendorong manusia untuk berinteraksi secara intim (bersahabat) dengan alam. Meskipun demikian, bukan berarti pada fase ini masyarakat tidak mengalami perubahan sama sekali, tetapi perubahan terjadi dengan sangat lambat. Secara historis, fase gelombang pertama ini dapat kita lihat pada bangsa Sumeria dan juga bangsa-bangsa lain di Mesopotamia, sebagai tonggak sejarah awal munculnya peradaban agraris yang membedakan dengan periodesasi peradaban sebelumnya, yakni periode peradaban pra-sejarah.

Gelombang peradaban kedua (The Second Wave)
Pada gelombang peradaban kedua ini, ditandai dengan ditemukannya tekhnologi elektronik dan mekanik yang pada gilirannya mendorong berkembangnya industrialisasi, sehingga kebudayaan yang berkembang pun adalah kebudaayan industri (industri-kultural). Pada fase industri ini, tekhnologi mesin mempunyai peranan yang cukup dominan dalam proses-proses industri. Oleh karena itu, beberapa ahli justru memilih istilah “tekhnikalisasi” daripada “industrialisasi” dalam mengenali sifat pokok dari peradaban gelombang kedua ini. Indutrialisasi adalah merupakan proses yang menjadi kelanjutan atau bisa dianggap sebagai dampak langsung dari tekhnikalisasi, yaitu ketika spesialisasi tekhnikalistis itu diterapkan dalam usaha peningkatan produksi ekonomi. Oleh sebab itu, Marshall Hodgson mendefinisikan “tekhnikalisasi” sebagai :

“a condition of calculative (and hence innovative) technical specialization, in which several specialities become interdependent on a large enough scale to determine patterns of expectation in the key sectors of a society, especially oversas commerce.” (Hodgson : 1974)

Dengan demikian, maka “industrialisasi” dapat kita maknai sebagai : “prevelence of such power mechanized industry in a country’s economy” (Hodgson : 1974). Revolusi industri di Inggris merupakan tonggak sejarah munculnya gelombang kedua ini. Secara sosiologis, fase peradaban gelombang kedua ini dapat dikategorikan pada fase masyarakat positivisme (menurut istilah Comte). Hal ini lebih disebabkan proses pemgambilan keputusan diteakankan pada kalkulasi-kalkulasi rasionalitas bukan pada hal-hal yang bersifat metafisik. Perubahan sosial pada fase ini sudah lebih dahsyat dan cepat jika dibandingkan dengan peradaban gelombang kedua.

Gelombang peradaban ketiga (The Third Wave)
Menurut Toffler, arus gelombang ketiga merupakan proses lanjutan dari arus gelombang pertama dan arus gelombang kedua. Jika pada gelombang pertama perubahan sosial berjalan mengikuti deret hitung dan pada gelombang kedua perubahan sosial mengikuti deret ukur, maka pada arus gelombang ketiga ini perubahan sosial bersifat “exponential”. Artinya, proses perubahan sosial yang terjadi berjalan dengan sangat cepat melebihi perubahan sosial yang terjadi pada fase industrial. Kekuatan utama dari fase ini terletak pada perkembangan tekhnologi informasi dan komunikasi. Televisi, radio, telephone, komputer, internet, dan handphone adalah produk-produk dari tekhnologi informasi dan komunikasi yang menjadi agen-agen pembaharuan.

Periodesasi peradaban di atas – untuk sementara ini – berjalan secara linier, dan sekarang dunia sedang terserang epidemi badai gelombang ketiga. Namun sayangnya, di negara-negara berkembang badai gelombang ketiga ini terjadi terlalu cepat, sehingga struktur lama yang belum mapan harus melakukan kompromi dengan struktur baru. Jalaludin Rahmat (1997) mengungkapkan :

“Dengan skala sejarah umat manusia seperti itu tampak bahwa kita sekarang berada
di tengah-tengah ledakan tekhnologi informasi, dengan akselerasi yang semakin tinggi. Ledakan informasi ini telah mengguncang dunia Barat, karena kedatangannya yang beruntun. Toffler menyebut Barat sedang menyaksikan sekaratnya gelombang peradaban kedua. Ledakan ini mengguncang negara-negara ketiga secara lebih dahsyat lagi. Bagi mereka, tekhnologi informasi datang pada saat gelombang peradaban pertama (peradaban agrikultural) masih bercokol dan gelombang peradaban kedua (peradaban industri) masih menyerap.”

Epidemi gelombang ketiga ini bergerak sangat cepat dan merata diseluruh pojok dunia dan di semua sendi kehidupan. Semua individu di planet ini mabuk-kepayang terkena cyber-space virus, telecomunication addict dan information syndrome. Tak terkecuali negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia. Sayangnya – seperti dijelaskan Jalaludin Rahmat di atas – untuk konteks dunia ketiga, kehadiran gelombang ketiga ini terlalu cepat, sehingga terjadi shock culture di mana-mana.

Kecepatan dan keterbukaan informasi dimaknai sebagai serba-boleh (permisif), serba cepat, serba aktual, serba instan dan serba mudah. Tembok-tembok primordialisme-pun terbongkar dengan sendirinya. Hal-hal yang dianggap tabu menjadi sesuatu yang lumrah. Hubungan-hubungan sosial antar individu terjalin sangat mudah dengan nyaris tanpa kontrol. Siapa yang bisa mengontrol Anda saat berchatting-ria dengan orang-orang ”asing” yang berada nun jauh di sana melalui media-media jejaring sosial? Tidak ada, kecuali diri Anda sendiri

Lebih dari itu – ibarat sebuah kotak Pandora – the third wave epidemic ini berpotensi membuka segala bentuk kemudharatan dan kita tak kuasa membendungnya. Dan – seperti telah diilustrasikan oleh Baudrillard – masyarakat akan bergerak menuju hyper-modernitas, euforia, banalitas dan akhirnya catastrope.

Post-Wacana
Tulisan ini adalah sebuah usaha untuk membuka kesadaran pembaca bahwa sekarang ini kita berada dalam dunia yang menggiring manusia pada ketidak-sadaran, menuju permanent ecstasy. Selanjutnya terserah Anda dalam membaca dan menghayati kondisi ini. Apakah Anda tetap menjadi individu yang tak-sadar? Ataukah menjadi individu yang sadar di tengah ketak-sadaran massal? Inilah yang saya sebut masyarakat prematur.

Pustaka
Baudrillard, Jean, The Ecstasy of Communication, New York, 1987.

Rahmat, Jalaludim, , Generasi Muda di Tangah Arus Perkembangan Informasi, dalam Idy Subandi Ibrahim, Ecstacy Gaya Hidup, Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Penerbit MIZAN, Bandung, 1997

Hodgson, Marshall G. S, The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization, University of Chicago Press, Chicago – Illinois, 1974

Toffler, Alvin, The Third Wave, Bantam Books, New York, 1981.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar